54. Dumps

748 63 9
                                    

Gue harap lo mencintai gue karena perasaan, bukan karena belas kasihan atau sekadar penasaran. Sebab ini tentang hati, bukan imajinasi.

-Querencia-

Mata sembab, tatapan sayu, dada sesak, dengan pikiran yang kosong. Dua remaja yang seharusnya bersekolah kini lebih memilih mengurung diri di dalam rumah.

Gio sudah berangkat ke sekolah, dan membuatkan surat izin atas nama Alby dan Arga, karena pria itu tahu bahwa dua insan yang tinggal bersamanya tengah meratapi duka.

Alby Alexandra. Wajah gadis itu sangat kusut, tidak seperti biasanya. Kantung matanya tercetak jelas karena semalaman tidak tidur. Duduk di atas sofa depan televisi dengan tatapan yang kosong. Menghembuskan asap yang keluar dari mulut ke udara, dan sesekali meletakkan sisa puntung rokok ke asbak yang terletak di hadapannya.

Seperti itulah Alby, jika ia mengenal luka, maka dia tak segan-segan menyakiti dirinya. Salah satunya dengan hal itu, merokok.

Begitu juga dengan Arga, pria tampan yang satu ini sangat berbeda. Rambutnya acak-acakan, matanya tak kalah sembab dari Alby dan tercetak kantung mata yang sangat jelas. Pria itu sedari tadi hanya meminum air putih dengan ukuran yang banyak. Sudah beberapa bulan ia tidak meminum minuman keras semacam wine dan lainnya, karena Arga ingin berubah, itu saja.

Pria dengan mata bulatnya itu menatap posisi Alby yang tak jauh darinya. Alby duduk di sofa, dan ia duduk di meja makan yang kebetulan bersebrangan dengan ruang yang di tempati Alby. Lantas, Arga meletakkan botol kosong ke atas meja makan yang isinya telah diminum ludes. Tak lain air putih tadi. Lalu ia melangkahkan kakinya menuju keberadaan Alby. Berdiri tepat di hadapan gadis itu, dan meraih rokok yang berada di tangan Alby, kemudian membuangnya.

Alby menatap Arga dengan mata sembabnya. "Nggak usah ganggu gue."

Arga tak menjawab ucapan gadis di hadapannya. Ia mengambil satu bungkus rokok yang hanya tersisa tiga rokok di dalamnya. Arga menggeleng tak mengira.

Pria itu membuangnya di tempat sampah yang tertera di dalam rumahnya. Ia kembali menatap Alby dengan tatapan datar.

"Al, please, berhenti. Orang tua lo nggak akan balik lagi dengan cara yang lo tadi lakukan," ujar Arga dengan lembut.

Alby hanya terdiam. Melangkah pergi dari hadapan Arga. Arga hanya membuntuti gadis itu, sampai pada tempat tujuan. Taman kecil samping rumahnya.

Arga duduk di kursi putih yang terletak di sana, seraya menatap Alby yang tengah mengelus lembut bunga matahari gadis itu.

Alby mengusap pelan kelopak bunga mataharinya. Tanpa senyuman seperti kemarin dan tanpa sebuah kecupan.

"Lo tumbuh dengan indah, tapi pemilik lo lagi gundah," lirih Alby.

Lalu Alby melangkahkan kakinya lagi, duduk di samping Arga. Menatap bunga-bunga yang terdapat di taman kecil itu, ditambah sinar matahari yang menyorot wajahnya, membuat Alby memejamkan matanya sekejap. Juga udara segar pagi ini yang membuat beban dua remaja itu mendingan.

"Ar."

Arga menoleh ke Si pemanggil namanya, "Iya?"

"Apa lo bisa buat gue percaya kalo hidup itu indah?"

Arga tersenyum tipis, "Bisa, kalo gue mau usaha. Kenapa?"

Tanpa menoleh, Alby memejamkan matanya kembali dan membukanya sesaat.

"Bantu gue nyari titik bahagia," ucapnya dengan pelan.

"Gue akan bantu. Karena gue juga lagi nyari itu."

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang