9) Pluviophile

2.5K 149 12
                                    

Tetesan itu berarti bagiku. Melarutkan segala keluh kesahku. Menjadikan diriku lebih baik. Dan membuat senyum yang sedari tadi sirna, kini muncul secara tiba-tiba. Dan, senyuman itu tanda dimana aku tengah bahagia.

-Querencia-

DOBRAK!

Perlahan, matanya terbuka di tengah kekantukannya. Ia menilik jam becker yang berada di atas nakas.

00.30.

Suara apa di pagi buta begini? Karena penasaran, ia beranjak mencari sumber suara. Tak peduli pada rambutnya yang acak-acakan dan piyama yang terlihat berantakan.Alby membuka pintu kamarnya. Menggeledah seluruh isi rumah. Derapan kakinya dipelankan kala sudah dekat dengan suara itu-berasal dari kamar Maya. Ini membuat niatnya semakin besar untuk masuk ke dalam kamar Maya.

BRAK! PYAR!

Alby terkejut seketika saat membuka pintu kamar Mamanya. Ia panik bukan main. Pasalnya, Maya dalam kondisi tidak baik di tengah malam ini. Wanita paruh baya itu mengamuk seperti tengah depresi berat, dengan memecahkan gelas yang ada di nakas, membanting bingkai foto, membuang semua alat tidurnya-bantal dan sejenisnya. Wanita paruh baya itu berada di lantai dengan kepala yang dibentur-benturkan pada dinding kamar, bahkan ia memegang sebuah pisau di tangan kirinya yang siap memutuskan nadi sendiri.

Alby kontan berlari dengan air mata yang tidak bisa dibendung. Ia memeluk Sang Mama yang hendak melakukan bunuh diri. Sedangkan tangis Maya pecah kala dipeluk oleh Alby.

"Mamah tenang!" Alby berusaha menenangkan kondisi wanita itu.

"Mama, kenapa?!" Nada bicara Alby semakin tinggi ketika Maya bersikeras ingin memutuskan nadi. Alby tak ingin tinggal diam, ia pun semakin erat memeluk Mamanya.

Maya dengan kondisi yang tidak terkendali itu berusaha lepas dari pelukan anaknya. Ia berusaha mengelak saat pisau yang sedari tadi setia di tangan kini hendak diambil secara paksa oleh Alby.

Alby melepas pelukan. Ia fokus merebut pisau tajam dari tangan Maya. Gadis itu bersikeras melepas, namun tenaga Maya terlalu kuat untuk dihadapi.

"LEPASIN!" teriak Maya yang bisa dibilang keras, hingga bergemang ke sudut ruangan kamar.

Maya berseru tak terima kala anaknya memaksa mengambil 'benda mati' di tangannya.

"Nggak!" Alby tak mau tinggal diam.

"LEPASIN ALBY! BIARKAN MAMA MATI!" Wanita paruh baya itu semakin tidak terkendali. Emosinya meningkat, stress akan keadaan. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

"Mama! Dengerin Alby, please ...." Tangis Alby semakin deras. Ia tak tega melihat kondisi Maya seperti sekarang. Alby melembutkan suaranya-bermaksud agar Maya tenang.

"Ma, Alby nggak suka kalau Mama begini. Mama kenapa? Ada yang nyakitin Mama? Ada yang ngehina? Mama nggak usah takut. Ada Alby di sini."

Tangis Maya meledak saat itu juga kala anaknya mengucapkan kalimat tadi.

"Please, Ma," pinta Alby kedua kali.

Maya semakin mengendorkan genggamannya dengan pisau itu, dan alhasil pisaunya pun ia jatuhkan begitu saja ke lantai.

Melihat sang Mama tenang, Alby langsung memeluknya. Malam ini, malam yang petang disuguhi dengan dua wanita yang tengah berseteru dengan keterpurukan malam ini-terlebih pada Maya.

Maya membalas pelukan dari anaknya. Rambutnya yang nampak acak-acakan itu dibelai oleh Alby.

"Mama janji nggak boleh kayak gini lagi, ya?" tanya Alby sembari membelai lembut punggung rambut Maya.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang