7) Epiphany

2.7K 177 10
                                        

Terlihat menarik bukan berarti melirik.

-Querencia-

Alby sangat bersyukur hari ini. Hari yang seakan sangat berkesan untuknya. Pasalnya, Devon tak menjemputnya pagi ini. Gadis itu pun bersorak ria, dan berangkat dengan menaiki motornya yang sudah diperbaiki.

Rambut coklatnya digeraikan begitu saja. Bibirnya yang natural menjadikannya semakin menawan. Sudah beberapa kali Alby terkena hukuman karena rambut yang tidak diikat, tapi sebuah hukuman saja tak mempan bagi gadis itu. Ia masih saja tidak kapok. Ruang BK pun menjadi tempat langganannya di sekolah.

Alby tetaplah Alby. Gadis cantik berambut cokelat itu sangat berandal. Seragamnya tidak dimasukkan, dasi yang tidak dipakai, ia pun mengenakan sneaker putih, padahal itu semua termasuk pelanggaran di sekolahnya. Ini memang sudah menjadi hobinya.

"Alby, sarapan dulu," ujar Maya.

Alby hanya menggelengkan kepalanya. Usai berpamitan dengan Sang Mama, Alby mulai berkendara. Ia bahkan dengan beraninya tak membawa helm.

Sial. Lampu yang berwarna merah itu menghalangi perjalanannya hari ini. Alby terpaksa harus menunggu beberapa menit. Menunggu memanglah melelahkan. Apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Dor!

Alby kaget setengah mati. Ia tak tahu jika suara itu berasal darinya. Dari motornya. Ternyata ban belakang motornya meletus. Mengapa ketika harinya sudah tidak diusik oleh pengganggu hidupnya malah ia mendapat kesialan semacam ini? Sungguh tidak adil!

Akhirnya, Alby terpaksa mendorong motor itu ke tepi jalan. Suasana jalanan nampak ramai hari ini. Banyak anak yang akan berangkat sekolah, orang yang berangkat bekerja, sekedar membeli lauk sarapan, tapi mengapa tidak ada satupun orang yang berniat menolong dirinya? Miris. Sampai-sampai orang pun tak mempunyai rasa empati kepada sesama makhluk. Tapi, Alby baru mengerti jika hidupnya selalu sial. Tak pernah mendapat kebahagiaan.

"Sebenernya pak bengkel itu bener nggak sih perbaiki motornya, apa jangan-jangan lo emang harus digudangin resiko motor tua!" umpat Alby sambil menepuk-nepuk motornya ketika ia mulai mendudukkan tubuhnya di trotoar samping jalan. Wajahnya berkeringat, menunjukkan ia penat.

Alby menatap miris motor bututnya itu. Apa ia harus berteriak minta tolong agar semua orang menolongnya? Ah, memalukan.

"Maaf nggak ada receh, Mba."

Seruan dari seseorang yang memberhentikan motor membuat Sang empu menoleh. Alby pun lantas berdiri dan menatap pria itu dengan emosi yang kian muncul di pagi buta seperti ini.

"Pergi. Nggak usah sok jadi pahlawan kepagian buat nolongin gue!" usir Alby dengan penuh penekanan.

"Siapa juga yang mau bantu lo? Norak. Dorong sendiri sampai sekolah, dan tibalah hukuman yang menyambut pagi lo. Alby!" timpal Arga dengan senyum miring.

Rahang Alby mengeras. Ia merasa dipermalukan kembali. Alby mengira Arga akan menolongnya seperti cerita-cerita di wattpad atau di sebuah film, nyatanya tidak.

"Bye. Selamat menjalani pagi yang mengenaskan!" seru Arga lagi sembari terbahak.

"Awas lo, murid baru!" batin Alby yang emosi.

Alby menghela napas beratnya. Arga benar-benar meninggalkannya. Ah, bodo amat. Ia juga tidak meminta pertolongan dari pria itu.

"Oke. Mari kita jalani pagi yang indah ini, motor bututku," kata Alby seraya kembali mendorong motornya. Lagi pula, jaraknya dengan jarak ke sekolah hanya beberapa meter lagi. Ia pikir tak masalah.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang