11) Metanoia

2.3K 118 18
                                    

Tenangkan hatiku sekejap boleh? Dengan sikap hangatmu yang masih terpendam di hatimu? Mustahil.

-Querencia-

Malam yang digantikan oleh embun. Rintikan kembali turun. Awan hitam datang beserta emosi yang tak terkendali datang menghampiri. Kilat cahaya bertengkar bersama hati yang lara. Berteman sepi di malam rindu. Bermain-main di malam yang sunyi. Bersosialita menjadi penguat diri. Bersua dengan kepahitan yang selalu datang kala malam menyambut pelan.

Lima botol vodca habis diminum olehnya. Bersandar di balkon yang dianggap bar kecil di rumah. Matanya sayu. Sedari tadi hanya itu yang ia lakukan. Diambilnya satu botol vodca lagi. Meminum habis dalam satu tegukan. Dengan mudah, botol yang sudah kosong itu dilempar begitu saja ke dinding. Menghasilkan bunyi "pyar!" yang menghambur ke seluruh ruangan.

Ia tak peduli. Balkon yang terletak di kamarnya itu cukup berantakan. Dengan jendela yang sengaja dibuka, hingga angin malam dingin masuk, menusuk pori-pori pria itu. Air hujan yang semakin deras menghantam beberapa kali di dada bidangnya. Membiarkan  diri tenang sementara. Dengan cara seperti ini, bersua bersama kesunyian. Menyapa keterpurukan datang, bermain kala semua telah memasuki alur hidup sepanjang jalan.

Pria tanpa balutan kaos apapun itu nampak memejamkan mata. Celana pendek hitam yang dikenakan mulai basah. Rambut yang sesekali diacak-acak terlihat terhempas oleh angin. Wajahnya dipenuhi oleh percikan air hujan yang berasal dari jendela. Ia perlahan menghirup aroma khas dari rahmat Tuhan yang telah diciptakan.

Beberapa saat ia membuka netra kembali. Buliran air bercucuran dari kening dan bulu mata membuatnya nampak basah. Meski hawa dingin selalu berbanding di tubuhnya, dia enggan beranjak. Pikirnya, ia layak mendapatkan ini semua kala tengah berkecamuk dengan hal yang ada di dunia.

Hidungnya yang mancung dialiri oleh air yang berasal dari kening. Turun hingga ke rahang tegasnya. Membuat efek maskulin bertambah. Meski kesendirian selalu menjadi temannya, namun hujan selalu menemani sedihnya. Hujan yang kata orang membosankan, ia justru menjadikan sebagai kejadian tersebut sebagai prioritas. Hujan yang dianggap seseorang itu membawa kesusahan tapi baginya membawa kebahagiaan. Kala mentari tak bersinar membawa kehangatan, maka biarkan hujan turun menyapa.

Bukan hanya atap saja yang basah, namun pikirannya juga sama. Manik pria itu menatap rintikan hujan yang semakin menderas, sama halnya dengan kesedihan yang tak kunjung redah.

Pria itu tersenyum tipis dengan bibir yang mulai bergemetar dan tubuh menggigil. Tak apa, ia sudah terbiasa. Hawa dingin yang seakan menggerogoti tubuhnya dia anggap sebuah pelukan mesra dari semesta.

"Hujan  penghapus kelam. Penghapus kesengsaraan. Dingin, tapi menghangatkan. Jatuh ke bawah tapi selalu buat gue terbang ke titik kebahagian. Terlihat monoton, tapi istimewa bagi penikmatnya," gumam Arga perlahan.

Diambilnya kembali satu botol vodca terakhir yang tadi telah disediakan dirinya sendiri. Hanya dengan satu tegukan kembali kontan habis diteguk tanpa sisa. Seperti sebelumnya, Arga melempar sembarang botol itu ke sudut ruangan.

PYAR!!

Gelakan tawa singkat terlihat pada bibir Arga. Bak orang gila yang tengah begadang di malam yang akan menjelang pagi, pria itu hanya ingin membahagiakan dirinya sendiri.

Kala manusia berada di fase kesedihan, obat yang paling ampuh untuk menyembuhan adalah dengan cara menertawakan dirinya sendiri.

Aneh memang. Tapi, memang begitu. Ya, kan?

Tubuhnya mulai lemas, menggigil tak keruan. Ditambah air hujan yang semakin deras, juga petir yang memancarkan kilatnya.

Ketiga temannya—Rey, Dimas, dan Gio sudah pulang ke rumah masing-masing. Jadi, seperti inilah sekarang. Arga kembali diselimuti dengan kesunyian, kesendirian.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang