19. Basta

1.5K 89 13
                                    

Patahin hati gue dulu. Setelah itu lo boleh matahin alat tubuh gue.

-Querencia-

Pria dengan wajah lusuhnya itu meneguk satu botol vodca lagi. Ia sudah menghabiskan lima botol sekaligus. Berhubung orang tuanya tidak di rumah, Arga memanfaatkan hal ini dengan menyakiti dirinya sendiri, yang ia anggap sebagai kenikmatan, padahal itu salah besar.

Alat penglihatan Arga semakin buram. Tubuhnya lemas. Orang tuanya tak pernah bersanding di sampingnya. Hidup sebatang kara. Bagas dan Friska biasanya pulang pukul tiga pagi, dan berangkat kembali pukul enam pagi. Otomatis Arga kurang belaian dari kedua orang tuanya yang memiliki banyak kesibukan.

Keluarganya terkenal dermawan karena memiliki perusahaan besar dan jabatan yang luar biasa juga sering berbagi ke orang yang kurang mampu. Namun, Arga tak yakin jika dirinya kelak akan menjadi penerus mereka, melihat kondisi Arga yang sekarang pun rasanya sudah tidak karuan.

Arga menendang meja di depannya. Bar mini miliknya itu tak pernah rapi. Tempat itu adalah pusat di mana Arga meluapkan emosinya. Ia tak tahu harus kepada siapa mengeluarkan rasa keluh kesahnya. Bahkan kepada Tuhan pun dia lupa tata cara beribadah. Sungguh keterlaluan. Arga merasa dirinya memang bukan pria yang baik untuk istrinya kelak. Bodoh menurutnya.

Pria tampan itu sesekali menyugar rambutnya. Ia melempar botol kosong yang digenggamnya ke sudut ruangan, dan menghasilkan bunyi PYAR!

Arga mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Ia sudah menduga itu pasti kakaknya yang baru saja pulang dari pembisnisan Papanya. Arga memencet remote yang berada di sampingnya. Remote itu otomatis akan membuka pintu rumahnya. Tak perlu heran jika di rumahnya berisi alat-alat canggih keluaran terbaru dari luar negeri.

Ardian-kakak Arga sangat paham di mana posisi Arga. Ardian terkejut kala melihat keadaan Arga yang mengulangi kejadian dulu.

Ardian melepas jas hitamnya juga tas yang sedari tadi di tangannya. Ia melangkah cepat ke bar mini tersebut.

"Kenapa lo ulangi lagi?"

Suara berat itu berasal dari Ardian. Arga hanya membalas dengan lirikan, lalu Arga berdecih setelahnya.

"Penting buat lo? Nggak kan?"

Ardian mengambil jasnya tadi, juga sebuah minyak wangi yang tersedia di tas nya. Ia memakaikan jasnya ke tubuh Arga, lalu menyemprotkan minyak wangi ke tubuh adiknya.

Arga terkekeh melihat tingkah kakaknya itu. Lucu.

"Apa-apaan sih lo? Gue udah ganteng nggak usah diperganteng," cerca Arga.

Ardian menghembuskan napasnya. "Papa sama Mama pasti sebentar lagi pulang. Lo mau kena marah sama mereka?"

"Biarin. Gue udah biasa kena marah. Nggak usah sok peduli."

Ardian menggelengkan kepalanya. Menatap adiknya dengan napas yang memburu. "Please, Arga. Kenapa sih lo masih kepikiran hal itu? Bukankah sekarang udah membaik?"

"Membaik apanya? Membaik karena lo terus dipuji sedangkan gue enggak?" Pertanyaan itu kontan menohok hati Ardian. Ia tak tega melihat Arga seperti ini.

"Ini udah jam dua, sebentar lagi jam tiga. Papa sama Mama pasti balik. Sebaiknya lo masuk kamar, bersihin muka lo biar nggak kusut," saran Ardian.

Arga hanya menganggukkan kepalanya. Malas saja berdebat dengan kakak kandungnya itu. Ardian melangkahkan kaki keluar dari tempat tersebut. Arga terkekeh sesaat. Ia merasakan perih dan bahagia secara bersamaan.

Derapan kaki terasa ke arahnya lagi. Ardian kembali memasuki bar mini milik Arga dengan napas memburu, juga keringat dingin yang bercucuran di kening Ardian.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang