Secara tersirat, semesta kembali mempertemukan kita di waktu yang tidak tepat.
-Querencia-
Gadis dengan muka lusuhnya itu melangkahkan kakinya gontai menuju kamar. Bisma yang berada di ruang keluarga menatap aneh anaknya. Alby hanya menghiraukan tatapan itu, berjalan lurus ke depan."Alby ...."
Suara itu membuat langkah Alby terhenti. Tanpa menatap Sang lawan bicara, Alby hanya diam dan nampak lesu.
"Hm?" sahut Alby malas.
"Kamu dari mana aja?" tanya Bisma dengan koran yang di tangannya.
Alby memutar bola matanya malas. "Nggak tau."
Bisma menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu kelihatan capek gitu?" tanya Bisma lagi.
"Kepo banget sih jadi orang!"
Bisma menghela napas panjang. Mungkin Alby masih belum bisa memaafkan masa lalunya.
"Kamu bukannya tambah baik malah makin brutal gini!"
Alby melempar tatapan tajam ke arah Bisma-Papanya sendiri.
"Dari dulu Papa emang nggak suka Alby lahir di dunia ini, 'kan? Justru Papa yang nggak pernah berubah! Papa nggak pernah nganggap Alby sebagai anak Papa, bahkan sekarang Papa masih ngebentak Alby!"
Alby berteriak bersama air mata yang lolos begitu saja. Hari ini begitu lelah. Ia penat dengan nikmat yang hadir dalam kehidupannya. Semuanya tak bisa membuatnya bahagia, sekalipun orang terdekatnya.
Bella yang berada di dapur itu mendorong kursi rodanya dengan perasaan yang panik karena mendengarkan keributan tadi. Paruh baya yang melihat anaknya menangis kontan memeluk Alby. Alby menjatuhkan lututnya dan melebur di pelukan Sang Mama.
"Alby, kamu kenapa?" tanya Bella dengan nada lembut.
Alby terisak hebat. "Papa nggak pernah berubah, Ma. Barusan dia ngebentak Alby."
Tatapan Bella menuju ke tempat di mana Bisma sudah menghampirinya. Bisma berniat mengelus pundak Alby, tapi tangannya di tangkis begitu saja oleh Bella.
"Mas, tolong biarkan Alby tenang dulu," ujar Bella. Bisma hanya mengangguk pelan. Perasaan menyesal mulai mengelabui Bisma. Pria berumur itu duduk kembali ke posisinya. Ia tidak bermaksud memarahi Alby, dia hanya ingin yang terbaik untuk putrinya.
Bella melepas pelukannya. Alby pun berjalan memasuki kamarnya. Menelenggelamkan wajahnya di balik bantal. Menangis kencang tanpa seorangpun mendengarnya.
***
Pria berbalut kaos putih itu menghela napas berat. Tiga lembar origami yang tersisa baru saja lenyap akibat sang pemilik menorehkan kata, lebih tepatnya curahan hatinya. Kemudian Arga memasukkan kertas tadi di wadah yang disediakan sang Mama.
Arga beralih menatap langit kamarnya yang bernuansa putih susu. Nyaman. Ia merasa menjadi pria terjahat yang telah menciptakan kesedihan pada gadis yang disukainya. Alby Alexandra.
Arga tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Bahkan, ia tak yakin jika Alby akan memaafkannya. Rasanya itu mustahil. Kesalahannya telah membuat hati gadis itu sakit, dan sulit untuk bangkit.
Arga mengusap wajahnya. Rasa menyesal mulai mengelabuinya.
Ceklek!
Pintu kamarnya terbuka secara tiba-tiba. Arga yang masih gundah itu tak menggubris. Seorang pria lain duduk di ranjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [END]
Teen FictionPART MASIH LENGKAP, BELUM DIREVISI. [Follow sebelum membaca, don't copy my story]. Highest rank🥇 #1 in highschoolseries #1 in spirit #1 in together #2 in best couple Dia khayal dalam nyata. Dia imajinasi dalam realita. Rasa itu hadir tanpa disadari...