Karena ibarat kaca yang retak pasti sulit untuk disatukan. Jika disatukan pun benda itu tidak sesempurna awalnya.
-Querencia-
Satu hisapan rokok kembali hadir di bibirnya. Pria tampan itu melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia sudah beberapa jam bolos pelajaran, namun ini sudah biasa. Duduk di atas kursi berdebu tepatnya di rooftop membuatnya tenang. Angin juga selalu melengkapi keadaan. Ia terpaksa tidak menemani Papahnya yang masih terbaring sakit. Malas rasanya. Rasa menyesal hadir di dalam hatinya.
"Woi, ngapain aja sih, lo?"
Sapaan itu mengagetkannya sekejap. Arga memutar kepala, menatap tiga temannya dengan tatapan sinis.
"Lah, kalian bertiga ngapain ke sini?" Arga balik tanya. Rey, Dimas, dan Gio kontan diam. Arga memang tipikal orang yang sulit untuk diajak ngomong.
Tiga temannya tadi sudah berdiri di sekeliling Arga. Arga menatap aneh wajah mereka.
"Berasa diintrogasi gue," ujar Arga sembari membuang sembarang arah puntung rokoknya yang sudah habis.
"Pulang ke kelas." Gio yang sudah bosan akan keadaan juga keringat akibat perjuangannya menaiki rooftop itu nampak gusar. Dan ingin cepat pergi dari tempat yang dianggapnya pengap itu.
Rey mengangguk. Sedangkan Dimas masih menatap Arga secara intens. Arga yang ditatap pun bergidik ngeri.
"Natapnya biasa aja, bego!" Arga memundurkan wajah Dimas yang terlalu dekat menggunakan tangabbya. Rey mulai terbahak. Berbeda dengan Gio yang fokus berkutik dengan ponselnya.
"Lo tahu nggak sejarahnya orang cepet mati?" tanya Dimas.
"Gue nggak denger," elak Arga tak ingin mendengar lontaran aneh dari teman gilanya itu.
"Apa, Dim?" Kali ini Rey yang bertanya.
Dimas menyeringai. "Barang siapa yang sering merokok, dia bakal pulang ke Rahmatullah duluan."
Rey terkekeh. Sedangkan Arga hanya berdecih. "Emang lo belum coba rokok? Enak, kok. Kayak permen," sergah Arga.
"Bohong." Gio menimbrung kali ini.
Arga tertawa kecil. "Emang lo pernah nyoba, Bang Sat?"
Gio menggeleng kemudian. Dia memang tipikal pria yang tidak menyukai hal seperti tadi.
"Gue nggak mau nyoba. Nanti kasian calon istri nggak bisa rasain kecupan manis dari bibir seksinya babang Dimas," celetuk Dimas. Arga dan yang lainnya kontan berekspresi sepeti orang muntah.
"Nggak ada cewe yang mau sama lo, dugong!" seru Rey seraya terbahak.
"Sialan!"
Di tengah asiknya terbahak, Arga beranjak dari tempatnya. Gio mulai membuntuti dengan ponsel yang tak pernah lepas dari tangannya. Rey dan Dimas yang baru menyadari bahwa dua temannya telah menghilang sontak terkejut.
"Nggak mau pulang lo berdua? Tobat, dong. Tiru gue." Seruan Arga membuat Rey dan Dimas berdecak kesal. Terlebih pada Dimas yang sangat menyesali perbuatannya karena telah menjemput teman tidak tahu diri itu.
Rey pun menyusul. Dimas masih saja ngedumel tidak jelas.
"Tuh anak titisan apa, sih? Nggak punya sopan santun banget sama orang tua! Babang Dimas kan juga punya perasaan." Dimas menjeda gumamannya, "Lah. Gue 'kan nggak tua, masih imut gini, dodol!"
***
Ardian berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang lumayan ramai. Langkah lebarnya dengan sebuah jas hitam yang melekat di tubuhnya membuat ketampanannya berganda. Pria dengan penampilan perfeksionis itu bertubuh tinggi, juga postur tubuh yang bagus. Hidung yang tercipta mancung, ditambah rahangnya tegas. Para gadis di sekolah juga banyak yang menganguminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia [END]
Roman pour AdolescentsPART MASIH LENGKAP, BELUM DIREVISI. [Follow sebelum membaca, don't copy my story]. Highest rank🥇 #1 in highschoolseries #1 in spirit #1 in together #2 in best couple Dia khayal dalam nyata. Dia imajinasi dalam realita. Rasa itu hadir tanpa disadari...