57. Youniverse

781 71 3
                                        

Tetaplah tinggal meski gue selalu buat lo kesal, dan tetaplah ada meski gue nggak pandai menciptakan tawa.

-Querencia-

Bel tanda masuk sudah berbunyi ke segala penjuru. Hal itu menandakan bahwa semua penghuni sekolah diharapkan masuk ke dalam kelas untuk mengikuti pembelajaran.

Alby Alexandra. Mood gadis itu sangat buruk. Ia hanya diam sepanjang pelajaran berlangsung. Pagi ini, Pak Anton—Sang wali kelas mengajar pada jam pertama. Suasana kelas nampak hening, tak gaduh seperti biasanya. Wali kelas itu menyuruh anak didiknya untuk menyimak apa yang diucapkannya di papan tulis. Namun tatapannya teralih, menatap gadis yang duduk di bangku pojok belakang. Alby masih asyik melamun ke arah luar jendela, gebrakan penggaris panjang di papan tulis membuat Alby terlonjak kecil, tak lain gebrakan dari Pak Anton.

"Alby, kamu kenapa? Sakit?" tanya Pak Anton.

Tatapan semua penghuni kelas terpusat pada gadis itu, kecuali bangku yang berada di sampingnya, dua pria di sana tidak menatapnya, tak lain Arga dan Gio.

Alby menggeleng pelan sebagai jawaban. Mulutnya masih mengatup rapat.

"Kok kamu nggak kayak biasanya? Ada apa?" tanya Pak Anton lagi.

Alby hanya menggeleng untuk kedua kalinya.

Pak Anton menghela napas, "Perhatikan ke papan tulis, ya. Jangan malah melamun ke luar jendela."

Pak Anton kembali melaksanakan proses belajar. Alby yang sudah tak tahan itu beranjak dari kursi dan menghadap ke Pak Anton.

"Pak, saya mau ke belakang," ucapnya.

Pak Anton justru menatap Odel, "Odel, anterin teman sebangkumu ke kamar mandi."

Alby berdecak pelan mendengar itu, "Saya nggak akan bolos, Pak. Saya udah nggak tahan."

Tanpa menunggu jawaban dari Pak Anton, Alby melarikan diri dari sana. Seorang Alby keluar kelas pada masa pembelajaran dengan alasan mau ke kamar mandi sering dianggap bohong, padahal emang iya.

Layaknya sekarang, Alby tidak ke tempat itu, melainkan berjalan menuju ke sisi lapangan basket. Duduk di kursi panjang sambil menatap beberapa siswa yang tak lain adik kelasnya tengah bermain bola basket.

Tatapannya kosong. Langit pagi itu sangat suram, seperti dirinya. Tatapan Alby beralih kala suara langit memecah pikirannya. Hamparan yang tadinya berwarna biru cerah kini berubah menjadi hitam. Awan-awan bergerombol menjadi satu. Suara langit yang bergemuruh kembali terdengar, menandakan bahwa hujan akan datang. Alby menatap miris langit yang mendung. Ia berpikir, apa dirinya sudah tidak membenci hujan kala kejadian waktu itu?

Beberapa menit kemudian, tetesan air dari langit mulai berjatuhan. Membasahi SMA Bina Bangsa. Alby masih menantang dirinya sendiri. Ia meneguk ludah sejenak sebelum tetesan itu jatuh menimpa tubuhnya. Menutup matanya rapat dengan tangan yang terkepal di atas lututnya sendiri.

Sampai akhirnya tetes demi tetes membasahi tubuhnya. Hujan yang tadinya kecil malah bertambah besar. Semua orang yang berada di lapangan berlarian menuju ke tempat teduh, tak lain pohon ataupun ke kelas masing-masing. Berbeda dengan Alby, gadis itu masih memejamkan matanya. Merasakan air hujan yang menerpa dirinya.

Dari lubuk hati, Alby ingin berlari dari sana. Namun ia urungkan niatnya. Dia hanya ingin menghadapi ketakutannya. Alby ingin phobia-nya pergi dari tubuhnya.

Semua siswa dan siswi yang sudah berteduh tatapannya justru terpusat ke arah Alby. Gadis absurd itu masih duduk di sana, dan tak berkutik sama sekali. Seragamnya yang sudah basah kuyup tak dipedulikan. Tubuhnya mulai menggigil akibat terlalu lama berdiam diri di bawah air hujan. Semua tatapan siswa dan siswi belum teralih dari sosok Alby. Mereka asyik membincangkan gadis yang bukannya menghindari hujan malah merelakan tubuhnya basah kuyup.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang