31. Hari jadi

1.4K 69 21
                                        

Menunggu itu nggak enak. Apalagi menunggu sesuatu yang nggak pasti.

-Querencia-

Satu minggu kemudian, hari berjalan seperti biasanya. Devon sudah bangun dari masa komanya. Begitu pun Bisma—Sang Papa. Mereka sudah hidup bersama. Bisma sudah meminta maaf kepada Devon, Alby, dan Bella. Kini mereka satu rumah. Bisma dan Bella sudah rujuk beberapa hari yang lalu.

Alby merapihkan seragamnya agar tak berantakan. Rambut yang digerai itu mempercantik dirinya. Bisma, Bella, dan Devon sudah berada di tempat makan. Alby pun menghampiri keluarganya.

"Von, kamu nggak sekolah?" tanya Bisma.

Devon menggeleng sembari memakan sarapannya. "Nggak, Pa. Devon tinggal nunggu kelulusan doang."

Bisma ber-oh ria. Alby yang baru saja duduk di kursi itu langsung melahap sarapannya dengan cepat.

"Pelan-pelan, Alby," ujar Bella.

Alby tersenyum. Kemudian meminum segelas susu hangatnya.

"Alby berangkat, Pa, Ma, Von," ucap Alby yang menjabat tangan anggota keluarganya.

"Emang Arga udah dateng?" tanya Devon dengan alis terangkat.

Alby tersenyum tipis. "Gue nunggu di depan lah."

"Menunggu itu nggak enak. Apalagi menunggu sesuatu yang nggak pasti."

Ucapan Devon membuat tawa Bisma dan Bella meledak. Alby hanya berdecak pelan, lalu keluar dari rumah.

Baru satu langkah ia keluar melewati pintu, suara deru motor datang menghampiri. Bibir Alby terangkat sempurna kala Arga sudah menjemputnya.

Pria tampan itu membuka helm full face nya. Ketampanan dari seorang Arga Revano Gavin memang tak dapat diragukan.

"Lama, ya?" tanya Arga saat Alby tengah memakai helm pemberiannya.

"Banget, njir!" timpal Alby.

"Pagi-pagi udah dapet umpatan aja gue, heran dah."

Alby mendesis. "Bodo amat."

Gadis itu dengan cepat menaiki jok belakang. Arga pun sudah memakai helm nya.

"Nggak pegangan nih? Mau terbang?" tanya Arga dengan seringainya di balik helm.

Alby menjulurkan tangannya ke pinggang Arga. Si pemilik pinggang pun dapat merasakannya. Namun realita tak semanis ekspektasi. Cubitan maut hadir di pinggangnya. Arga meronta ingin dilepaskan. Sedangkan Alby terbahak keras melihat Arga yang kesakitan. Karena sudah cukup lama, Alby melepas cubitannya.

"Nggak usah kebanyakan modus, babe," ucap Alby dengan nada menyebalkan bagi Arga.

Arga berdecak pelan. Tanpa memberi aba-aba, ia langsung menancap gas nya. Hal itu membuat Alby refleks memeluk Arga dari belakang. Dari balik helm, Arga tersenyum tengil tanpa Alby ketahui.

"Rasakan, kena kan, lo."

***

"Truth or dare?"

"Truth," jawab Rey malas.

Dimas membuka kertas yang berada di meja. Membacakan kalimat di dalam kertas itu.

"Lo pernah nggak bisa move on nggak? Sama siapa?"

Rey berdecak pelan. Kenapa semuanya bersangkutan dengan masa lalunya. Sial!

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang