Volume 1 chapter 14

1.6K 172 0
                                    

Sepertinya padang rumput hijau menolak menjadi surganya Pingting. Sekitar pukul empat, sebelum fajar, sebuah tubuh yang lelah berdiri diam di dekat jendela.

Burung-burung dan bunga-bunga menari di cahaya matahari yang lama menghilang, dan ketika malam hari kau pergi keluar hanya dengan penerangan lilin, bunga-bunga terlihat seperti kuku kuku panjang, menjangkau jauh doa-doa mereka yang terlupakan.

Suami Yangfeng sudah pergi untuk perjalanannya dan Pingting yang berada di dalam Kediaman, mendengar para pelayan bergosip tentang betapa hebat dan gagahnya Jendral, berangkat meninggalkan semuanya begitu cepat, dan banyak yang bertanya-tanya bagaimana kemenangannya akan terjadi.

Jangan memikirkan tentang itu.

Pingting mengelengkan kepalanya. Ia menatap padang rumput lalu menatap bulan yang bersinar terang kemudian berkata dengan lirih.

“Ayo bersumpah pada bulan, takkan pernah berpaling satu sama lainnya.”

Orang itu bersumpah pada bulan dengan suaranya yang dalam dan mantap. Hatinya berdebar kencang ketika ia memikirkannya, tangannya menyengkram dadanya, dan ia mengigit bibirnya.

Jangan pikirkan, tapi ia tak pernah bisa melupakannya. Ia berpikir, waktu itu ketika mereka bersumpah pada bulan, kau milikku dan aku milikmu.

Ia merasa putus asa ketika ia melihat cahaya lilin berkelap-kelip menuju ke arahnya dari kejauhan. Pingting menyaksikan pijar api merah yang semakin dekat, tapi ia baru mengenali pembawanya ketika sudah sangat dekat.

“Kau masih terjaga ?”

Yangfeng tidak berharap ada seseorang di pinggir jendela dan ia mundur ke belakang karena terkejut. “Aku yang seharusnya bertanya. Kenapa kau masih terjaga?” dan ia tertawa, “Jangan katakan aku gagal sebagai Tuan Rumah dan aku tak bisa memenuhi kebutuhan tamu-tamuku ?”

Pingting berjalan keluar lewat pintu dan mata pelayan yang menemani Yangfeng menatap curiga. Pingting menarik tangan Yangfeng dan mendorongnya masuk ke dalam.

“Kita belum sempat berbincang lagi setelah beberapa waktu, jadi sebagai seorang tamu, aku akan menahanmu hari ini.”

Mereka berdua duduk di tempat tidur dan saling memperhatikan dengan seksama. “Membakar dupa selarut ini ?” tanya Pingting.

“Ia sudah pergi untuk beberapa hari, tapi aku masih tak bisa tidur sebelum tengah malam.” Yangfeng mengeluh. Ia berbaring di atas bantal, separuh wajahnya tertutup kain lembut. Ia memandang Pingting dengan ekspresi memohon seorang anak kecil, “Kau tidak boleh menertawakanku.”

Pingting tak bisa menahan tawanya tapi ia tak berani bersuara.

“Kubilang kau tak boleh tertawa.” Yangfeng melihat senyumnya lalu ia bangun dan memukul Pingting.

“Tak ada yang menyalahkanmu karena kau merindukan suamimu, jadi kenapa aku tidak boleh tertawa ? Kudengar beberapa Jendral terkenal selalu menjanjikan istri mereka akan menulis surat ke rumah setiap hari agar mereka tidak khawatir sepanjang waktu. Apa aku salah?”

Wajah Yangfeng merona, “Kau masih tertawa? Kalau kau menggodaku lagi, aku akan pergi.”

Tapi kemudian Pingting merapatkan bibirnya untuk menyembunyikan tawanya dan Yangfeng tahu kalau itu adalah tanda kekalahan. Ia memberikan Pingting tatapan iblis lalu berbaring lagi.

Suara tawa riang terdengar dari dalam ruangan seperti suara air terjun kecil menyembur kebawah gunung.

Keduanya seperti kembali ke masa lalu ketika mereka selalu tertawa setiap saat. Yangfeng menghentikan nuansa nostalgia mereka dengan mengeluh. “Aku tak pernah tertawa seperti ini sejak menjadi istri seorang Jendral.”

Gu Fang Bu Zi Shang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang