Para penjaga bersiaga dan para pelayan diam seribu bahasa. Suasana kediaman yang besar itu menjadi hening hanya dalam sehari. Bukan hanya karena kehilangan suara-suara burung merpati yang saling bercumbu, tapi lebih seperti suasana hening kematian.
Tak ada seorangpun yang terbatuk atau berbicara dengan suara keras. Bahkan ketika berjalanpun dilakukan dengan berjinjit. Sepertinya jika mengeluarkan suara sekecil apapun, bisa memancing keluar serangan musuh dari berbagai arah.
Pingting sedang duduk di ruang kerja Chu Beijie untuk pertama kalinya.
Ia membuka dan membaca gulungan perkamen yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkannya di atas meja. Beberapa dokumen ditambahkan sedikit catatan kaki oleh Chu Beijie sendiri. Jika berkaitan dengan masalah militer nadanya dingin dan kasar, berbeda jika berkaitan dengan kehidupan rakyat tulisan yang digunakannya sederhana dan sabar.
Ada satu atau dua dokumen yang terpisah yang isinya puisi tulisan tangan Chu Beijie. Tulisan tangannya yang terlihat akrab sungguh mewakili dirinya, tenang tapi juga liar disaat yang sama.
Ada sebuah sudut putih terlihat dari bawah tumpukan gulungan yang sangat hati-hati disembunyikan oleh pemiliknya. Mata tajam Pingting telah melihatnya. Terlihat sangat rapi dan sepertinya digambar dengan lihai.
Gambar itu sangat hidup, sapuannya kuasnya sangat tegas.
Terdapat pohon-pohon, sebuah danau, kecapi dan seseorang yang sedang memegang kecapi dalam balutan gaun hijau pucat. Angin menyapu helaian rambutnya yang hitam dan sehalus sutra ketika tersenyum dan berbicara.
Senyumnya sangat cantik, begitu cantiknya sampai Pingting merasa dirinya terbuai.
Ia terus memperhatikan lukisan itu dan tak berani mengalihkan pandangannya.
“Nona Bai, disini hanya ada dokumen lama dan beberapa milik Tuan diatas meja. Dan untuk peta serta laporan kondisi terakhir, aku sudah mengumpulkan semuanya.”
Ia segera menghentikan kesenangannya yang seperti berlayar di empat samudra ketika ia mendengar suara Moran melangkah masuk dengan tergesa-gesa. Ia segera merapikan kembali lukisannya, berniat meletakan kembali ketempat asalnya. Tapi kemudian ia berhenti, mengertakan giginya dan menyembunyikan lukisan itu di lengannya.
Ia menegadah dan melihat Moran sedang membawa setumpuk gulungan perkamen.
“Ini surat pribadi yang dikirim oleh Yang Mulia Raja yang meminta Tuan untuk segera kembali ke ibukota.” Moran membuka surat pribadi itu yang berwana kuning dan memiliki rumbai di ujung-ujungnya.
Pingting menundukan kepalanya untuk membacanya dengan seksama. “Yun Chang dan Bei Mo telah menggabungkan kekuatan? Ze Yin telah mengundurkan diri, yang tersisa hanya Ruohan dan Sen Rong. Aku tahu kalau Ruohan memang bagus, tapi Yun Chang…..” Sebuah nama yang akrab tiba-tiba muncul di pikirannya dan ingatannya dan membuatnya menjadi pening seketika. Ia berkedip dan berusaha membacanya dengan sangat hati-hati, tapi nama yang menusuk tajam di hatinya itu tidak berubah ada di bagian paling bawah gulungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gu Fang Bu Zi Shang (End)
Historical FictionGu Fang Bu Zi Shang (A Lonesome Fragrance Waiting to be Appreciated) Drama : General and I Author : Feng Nong Bai Pingting tidak pernah percaya perkataan "Kebaikan seorang wanita adalah kebodohannya". Walaupun ia hanya seorang pelayan dari Jin Anwan...