10. Eskalator

3.4K 250 7
                                    

Tepat saat Aurara dan Ismail berpijak di lantai mall yang luas ini, hujan pun turun dengan deras. Suara rintik hujan berpadu dengan bising suara dari dalam mall yang dapat Aurara lihat jika saat ini sedang sangat ramai. Banyak yang memakai baju rapi pertanda baru pulang kerja dan sejenak mampir untuk sekadar meminum teh atau kopi panas di cafe dalam mall. Aurara menghembuskan napas lega.

"Mail, lo di dalem jangan norak, ya? Kalo norak gue lempar dari lantai atas," ancam Aurara menunjuk lantai atas. Ismail mendelik.

"Kak Rara, Mail bukan pertama kali masuk mall. Bahkan nggak bisa diutung jari. Kak Rara tuh, terakhir kali kita ke mall bareng, Kak Rara takut naik eskalator. Lupa?" ucap Ismail jahil.

Dia tersenyum licik saat tahu sang kakak berdecak sebal.

"Waktu itu, kita mau naik ke lantai dua, Kak Rara mau cari kuncir rambut kalo nggak salah. Mail udah naik eskalator duluan, tuh. Eh, pas nengok ke belakang Kakak masih diem di bawah. Muka Kakak pucet banget." Ismail menjeda ucapannya, dia mengembungkan pipi menahan tawa. "Terpaksa Mail turun lagi, sampe dimarahin tuh sama Om-om karena ngelawan jalur. Pas Mail udah di samping Kakak, Kakak malah gandeng Mail ngejauh. Ngajak pulang. Ya Mail marah, lah. Baru juga sampe udah pulang aja."

"Mail tarik Kakak naik, Kakak malah balik tarik Mail. Kita tarik-tarikan terus sampe Kakak jatuh ke lantai terus teriak GUE TAKUT NAIK ESKALATOR, MAIL! Seketika, orang-orang ketawa, dan saat itu juga Mail pengen gelindingin diri saking malunya," curhat Ismail. Dia mengungkit kejadian yang sungguh memalukan itu.

Aurara mendengkus. "Udah, deh, kata Pak Ustadz nggak baik ngungkit keburukan orang lain. Dosa," jawab Aurara sok bijak. Padahal mah nutupin rasa malunya juga.

"Terus, abis itu Kakak malah ngajak mail lew-"
Aurara membungkam mulut Ismail yang terus membuka aib-aibnya di masa lalu dengan tidak ada lembut-lembutnya. Tinggi mereka yang tak terpaut jauh, Ismail setinggi kuping Aurara membuat mereka terlihat seperti anak kembar tengah bertengkar hingga tiba-tiba suara tawa terdengar keras.

"Serius?"

Suara itu. Aurara menoleh cepat ke arah kanan. Dan benar saja, di sana berdiri empat cowok jangkung dengan ekspresinya masing-masing. Zidan dengan wajah menyebalkannya yang kali ini sedang tertawa. Seno dengan wajah ramahnya juga ikut tertawa. Ilham dengan alis bertaut dan Kaka yang menatap Aurara datar.

"Heh, anak cacing, kedip! Segitu gantengnya kita sampe ngeliatinnya gitu banget?" Zidan berseru duluan. Tawanya perlahan reda.

"Hah? Aurara anak cacing? Bukannya anak manusia? Kok, gue baru tau ya, Dan?" sahut Ilham sengaja iseng.

"Diem deh lo, Ham. Bikin kesel aja," gertak Zidan. Dia maju selangkah lalu menepuk tangan di depan wajah Aurara.

Aurara terkesiap. Dia mengerjap-ngerjap. "Kak Zidan nggak sopan, ih."

"Bodo. Dasar norak. Naik eskalator aja takut," ejek Zidan lalu tertawa lagi.

Aurara cemberut. "Kalian denger semuanya?"

"Menurut lo?"

"Kaka denger?" tanya Aurara pada Kaka. Memastikan.

Kaka mengangguk.

Wajah Aurara pucat pasi. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Ih malu."

***

"Eh, Ka! Kita ke lantai dua aja, ke cafe Lezatto."  Zidan menginterupsi dari belakang. Mereka berenam sudah seperti rombongan keluarga bahagia.

Tanpa menoleh Kaka mengangguk. Mereka berbelok menuju eskalator untuk naik ke atas lantai dua. Tanpa Kaka sadari, Aurara memucat seketika. Dua langkah sebelum naik eskalator, Aurara mencegah lengan Kaka.

Kaka&Rara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang