Aurara tersenyum senang di depan pintu rumahnya. Baru saja dua hari yang lalu neneknya pulang dari Rumah Sakit, neneknya harus kembali ke sana untuk check up. Dan sekarang Aurara tengah menunggu nenek pulang.
Tak lama, terdengar suara mobil yang memasuki pekarangan rumahnya. Dengan senang Aurara berlari menghampiri mobil Naysa. Aurara membuka pintu mobil, langsung terlihat wajah nenek yang masih terlihat pucat. Dengan hati-hati Aurara menuntun nenek keluar dari mobil.
"Nenek!" pekik Aurara seraya memeluk tubuh nenek.
Nenek terkekeh kecil melihatnya.
"Ra, Nenek jangan dipeluk erat-erat, Nenek masih belum sepenuhnya fit. Kalo Nenek sesek napas gimana?" tegur Naysa sesaat setelah keluar dari kemudi.
Aurara menepuk jidatnya. Kemudian melepas peluk. Kini beralih menggandeng lengan Nenek untuk masuk ke dalam rumah.
"Lupa Mbak Nay. Maaf. Abisnya aku terlalu semangat. Hehehe."
"Yaudah. Kamu bawa Nenek masuk. Mbak beresin barang-barang dalem mobil," ucap Naysa pada Aurara.
"Siap Mbak Nay!"
"Nenek jangan sakit lagi, ya? Rara sedih Nenek sakit. Tadi hasilnya Nenek udah betulan sehat, kan?" ujar Aurara di sela langkahnya menuntun nenek dengan hati-hati.
"Entahlah. Seumur Nenek emang rawan ditamuin penyakit, Ra," jawab nenek terdengar mencoba bercanda.
"Ih, Nenek ada-ada aja. Ditamuin mah sama Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat atau Pak Presiden. Masa ditamuin penyakit," jawab Aurara lalu tertawa geli.
Nenek ikut tertawa kecil. Mereka pun melanjutkan langkah hingga sampai di kamar nenek. Aurara segera membaringkan nenek, menyelimutinya hingga sebatas pusar.
"Sekarang bukan hari libur, kan?" tanya nenek tiba-tiba.
Aurara mengangguk. "Sekarang masih hari kamis, Nek. Emangnya kenapa?"
"Kamu, kok dari kemarin nggak ke sekolah?"
Aurara menelan ludah susah payah. Rasa bersalah dan gugup seketika menyelimutinya."Kamu sakit, Ra?" Nenek menyentuh kening Aurara. Tidak panas apalagi dingin. Sejak kemarin nenek bertanya-tanya mengenai hal itu.
"Ra- Rara, Rara kan jagain Nenek. Mbak Nay nggak bisa, jadinya Rara, kan?" Auara sedikit gugup.
"Oh. Seharusnya enggak usah izin. Nenek udah sehat," ucap nenek.
Aurara tersenyum kecut.
"Mamamu nggak jenguk Nenek, Ra?" tanya nenek lagi. Dia menatap Aurara lamat-lamat.
"Mama jenguk Nenek, kok. Tapi cuma sebentar, abis itu pergi lagi," jawab Aurara dengan helaan napas. Aurara tahu, nenek pasti sangat merindukan kehadiran putrinya, apalagi dalam keadaan sakit seperti ini.
Nenek menghela napas perlahan. Dia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar. "Nenek nggak suka Mamamu kayak gitu, Ra. Dia itu perempuan, bukan kodratnya banting tulang kayak gitu. Sampai lupa masih punya orang tua dan anak."
"Rara juga kesel sama Mama, sama Papa. Mama sibuk sama kerjaannya. Papa udah sibuk sama keluarga barunya. Papa kayak udah nggak peduli lagi sama Rara, Mbak Nay dan Mail. Kenapa sih Nek mereka egois banget?"
Aurara kesal. Aurara benci. Aurara sakit. Tidak bisakah orang tuanya sedikit saja memahami perasaannya? Aurara yang sudah beranjak remaja saja merasa sangat haus akan kasih sayang mereka, lantas bagaimana dengan Ismail? Aurara takut, jika Ismail tumbuh menjadi anak yang kurang kasih sayang orang tua. Ismail masih terlalu kecil merasakan sakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
أدب المراهقين[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...