54. Duka

3.3K 251 47
                                    

Ra, lo di mana?

Lo baik-baik aja?

Jangan lupa makan

Aurara meletakkan ponselnya begitu saja setelah membaca boomchat dari Kaka. Pesan yang dikirimkan tidak langsung dalam satu waktu, tetapi dikirimkan dalam jeda yang cukup lama akibat dirinya yang tak juga membalas.

Suram. Hari Aurara benar-benar suram. Suasana rumahnya pun terasa menegaskan begitu. Terdengar lirih di indera pendengarannya jika banyak tapak kaki yang mulai meninggalkan rumahnya. Sepi kembali menyelimuti. Aurara tidak tahu harus melakukan apalagi. Dia hanya bisa menekuk lutut di ujung taman samping rumahnya dengan perasaan yang hancur lebur. Berusaha menghibur diri, yang selanjutnya terjadi justru menangis. Lagi dan lagi. Semakin lama semakin pilu.

Sesiap apapun, yang namanya kehilangan tetaplah menyakitkan.

Aurara sudah mengalami banyak kehilangan. Dan dia kira itu sudah cukup dan akan baik-baik saja. Namun, hidup tetaplah milik Tuhan. Kapan saja Tuhan mau ambil, manusia tidak akan pernah bisa menghindar.

Neneknya ... meninggal dunia dini hari tadi. Tanpa pamit, dan tanpa diketahui siapapun.

Setelah Neneknya dikebumikan, setelah ucapan bela sungkawa terakhir diucapkan para tetangga dan kerabat, Aurara memilih memojokkan diri. Aurara tidak bisa membayangkan. Bagaimana hidupnya berpuluh tahun ke depan. Dimana sosok yang bertahun-tahun sudah menjadi selayaknya orang tua baginya tiba-tiba meninggalkannya. Aurara tidak tahu, apakah dengan kejadian ini papa dan mamanya akan saling menyatukan ego untuk kembali memberi kasih sayang untuk anak-anaknya atau bahkan sebaliknya.

"Ra."

Aurara mengangkat pandang. Di depannya, berdiri sosok Bima dengan setelan kemeja hitam dan celana panjang senada. Raut Bima tampak menunjukkan kesedihan juga. Aurara yakin, Nimas lah yang memberi tahu Bima jika dia sedang di sini.

Bima mendudukkan dirinya di samping Aurara. Ikut menekuk lutut lalu mengembuskan napas panjang.

"Hidup, mati, jodoh, rejeki. Lo pasti tau itu hak Tuhan buat nentuin. Sebagai manusia kita cuma bisa berusaha. Berusaha tetap hidup, berusaha tetap kuat, berusaha mencintai dan dicintai. Dan hasilnya? Itu sepenuhnya tugas Tuhan," ujar Bima memecah hening dengan nada bicara yang berbeda dari biasanya.
Pandangannya lurus dengan kedua tangan berada di sisi kedua lutut. Sama persis dengan posisi Aurara.

"Sekeras apapun lo jaga Nenek, kalau udah waktunya Nenek dipanggil lo nggak bisa apa-apa, Ra." Bima menoleh. Bertepatan dengan Aurara hingga manik mereka saling bertemu. Tangan Bima terangkat, menghapus bulir bening yang terus mengalir dari pelupuk mata Aurara.

Kemarin pagi, bahkan tadi malam nenek masih baik-baik saja. Seperti biasa berbaring dengan selimut yang menutupi tubuhnya yang belum sepenuhnya sehat. Masih mengingatkan cucu-cucunya untuk makan. Sampai membuat Aurara teringat jika ini juga sudah waktunya jam makan nenek lalu meminum obatnya.

Hingga pukul dua dini hari, saat Naysa hendak melihat nenek, Naysa melihat nenek sedang tertidur. Sepertinya sangat pulas. Namun saat Naysa mendekat, menyentuh tangan keriput nenek, Naysa tidak merasakan detak nadi dari sana. Dan saat memanggil Dokter, benar saja. Nenek sudah dinyatakan meninggal.

Banyak penyesalan yang Aurara rasakan. Begitu banyak dosa yang dirinya perbuat kepada neneknya. Aurara masih seringkali membuat neneknya kesal. Sengaja membuat neneknya marah, dan banyak hal lagi yang sekarang hanya bisa Aurara kenang.

Aurara ingin membuat neneknya bangga, entah di masa sekolahnya, atau di masa depan nanti. Membuat neneknya dengan bangga berseru jika bahagia memiliki cucu seperti dirinya.

Kaka&Rara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang