"Bunda," panggil Suri menyentuh pundak sang bunda. Selita menoleh. Wajahnya tampak murung. Tidak jauh berbeda dari beberapa hari lalu."Ada apa, Suri?" balas Selita tak berminat.
"Bunda senyum dulu, dong. Ayah, Ayah jangan diem aja gitu dong. Bunda pelit senyum, nih. Ayah enggak pengen Bunda senyum lagi?"
Meski keadaan tampak canggung, Suri tetap berusaha mencairkan suasana. Tak peduli jika ucapannya tadi seperti anak kecil.
Rajasa yang sedari tadi duduk menemani sang istri sembari terus menggenggam tangannya langsung mengangkat pandang pada sang putri. Menatap Suri agak lama, lalu menggeleng. Rajasa tau, istrinya ini sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk diajak bercanda.
Kaka tak kunjung pulang. Membuat kekhawatiran Selita semakin memuncak.
Suri mengerung panjang. "Bunda sama Ayah gitu banget. Tapi nggak papa, Suri punya kabar baik. Pasti Bunda bakal senyum."
Suri sok-sokan ingin membuat orang tuanya penasaran dengan ekspresinya yang seolah menyuruh mereka untuk menebak. Namun karena kelamaan, Suri memilih langsung memberi tahukan saja.
"Kaka bakal pulang. Dia tadi ngabarin Suri kalo-- ah, ini dia telpon." Suri segera menekan tombol terima. Tampak antusias menerima panggilan dari Kaka dengan menekan tombol loudspeaker. Agar orangtuanya juga dapat mendengar suara Kaka.
"Halo."
Tunggu. Suri mengernyit.
"Halo, ini benar Mbak Medusa? Saya cek nomor Mbak yang terakhir dihubungi di sini."
"Ini siapa? Kaka mana?"
"Maaf, Mbak. Saya mau mengabarkan kalau adik Mbak kecelakaan dua hari lalu. Saya baru bisa menghubungi karena ponselnya sempat mati. Kondisinya sekarang—"
Suri langsung refleks menjatuhkan ponselnya. Membuat si penelpon tidak dapat melanjutkan kalimat karena sambungan langsung terputus.
***
"Ra?"
Aurara menoleh. Begitu juga Naysa dan Ismail.
"Papa!" Ismail memekik senang. Berlari menghampiri papanya lalu memeluknya.
"Papa kenapa gemetaran?" tanya Ismail bingung saat dirasa tubuh papanya bergetar cukup hebat.
Aurara memalingkan wajah. Rasa marah masih ada saat melihat wajah sang papa.
Barta menggeleng. Melepas pelukan Ismail lalu berjalan mendekati Aurara. "Kamu sakit apa, Ra?" tanyanya dengan wajah khawatir.Aurara tak menjawab. Malah kini membalikkan badan ke kiri lalu pura-pura memejamkan mata.
Barta terdengar menghela napas berat. Mengusap kasar wajahnya lalu membalikkan badan menghadap Naysa.
"Papa baru tau kalo Nenek kalian meninggal."
Ucapan Barta membuat Aurara seketika membuka mata. Juga Naysa yang tampak mengerutkan alis bingung."Naysa menghubungi Papa. Jelas-jelas Papa angkat telepon Naysa," ucap Naysa yakin.
Barta mengangguk. Tak mampu menjawab pertanyaan Naysa.
"Maafkan Papa." Dan akhirnya, itu yang keluar dari mulutnya. Nada suaranya terdengar menyesal. "Sekarang Papa sudah tau semuanya sekarang. Vina, istri Papa itu ternyata hanya memanfaatkan kekayaan Papa. Wanita itu hanya ingin harta Papa. Semuanya palsu. Dan bodohnya, Papa rela melakukan apapun untuk mereka. Tidak menengok kalian dalam jangka waktu yang lama. Tidak menghubungi kalian. Dan lebih memprioritaskan mereka daripada kalian. Darah daging Papa sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Teen Fiction[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...