Happy reading^^
***
Aurara semakin memeluk erat helm berwarna hitam milik Kaka. Pandangannya menerawang kosong. Pikiran dan telinganya masih terngiang oleh rentetan kalimat yang Kaka ucapkan saat di perpustakaan beberapa jam yang lalu. Tak bisa dipercaya, bagaimana bisa seorang Kakanda melontarkan kalimat sekasar itu padanya? Aurara terkejut, sekaligus kecewa karena secara tidak langsung Kaka menjatuhkan harga dirinya.Bagi Aurara, memperjuangkan sesuatu yang ingin kita miliki itu wajar, malah harus. Termasuk dalam memperjuangkan orang yang kita sayang. Baginya, berjuang bukan tentang siapa, tapi tentang apa. Berjuang bukan lagi hak seorang laki-laki saja. Perempuan juga berhak berjuang, karena mereka juga berhak bahagia.
"Ra."
Panggilan sekaligus tepukan di bahunya menyadarkan Aurara. Dia menoleh, mendapati Nimas tengah berdiri di sampingnya dengan raut khawatir.
"Ra, lo kenapa, sih?" tanya Nimas cemas. "Daritadi gue panggilin nggak nyaut-nyaut."
Aurara menautkan alis. Menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Masa, sih dipanggil nggak nyaut-nyaut? Kuping gue udah gue bersihin, gue juga enggak budek."
Nimas menempelkan minuman dingin yang baru saja dia beli untuknya dan Aurara ke pipi cewek itu.
"Udah nggak usah alesan. Lo kenapa? Daritadi di kelas juga aneh. Ada apa? Otak gesrek lo berkurang? Jadi lo sedih? Gitu?" tanya Nimas bertubi-tubi. Cewek berambut hitam legam itu kemudian menjatuhkan diri di samping Aurara. Mereka kini tengah duduk di Pos Satpam, menunggu angkot.
Aurara membuka tutup botol minuman orange tersebut lalu meneguknya hingga tinggal setengah. Dia kemudian menatap Nimas kesal.
"Enak aja. Otak gesrek gue bisa bertahan selamanya, nggak bisa tiba-tiba berkurang. Emangnya duit berkurang kapan aja," protesnya.Nimas mengangguk, mengerti. Sorot matanya berubah serius. "Ra, kalo ada apa-apa lo cerita aja ke gue. Kita ini sahabat, nggak seharusnya lo nyimpen sesuatu yang berat itu sendiri," tutur Nimas dengan jelas, berharap Aurara bisa mengerti.
Aurara mengerjap. Menegak sekali lagi minumannya lalu menjawab polos. "Gue nggak mikul apapun, Nim. Gue juga nggak nyimpen batu gede. Terus apanya yang berat?"
Oke, tahan. Nimas masih mencoba bijak mode on. Dia tersenyum kali ini, berharap ucapannya kali ini benar-benar dimengerti oleh Aurara.
"Maksud gue, lo bisa berbagi masalah lo ke gue. Gue ini sahabat lo, dan sahabat adalah orang yang mau berbagi duka, bukan hanya suka aja, Ra. Jadi, cerita sama gue, lo kenapa?" Nimas menggenggam tangan Aurara yang bebas, seperti menuntut agar Aurara mau bercerita tentang masalahnya.
Aurara sedikit terharu. Jarang-jarang Nimas bersikap manis seperti ini. Biasanya dia suka sekali meledek dan marah-marah pada Aurara. Tapi meskipun begitu, Nimas adalah sahabat yang baik. Pendengar keluh kesah yang baik. Dan pemberi solusi terbaik yang pernah Aurara kenal.
"Nggak ada masalah yang besar, Nim. Gue lagi kecewa aja sama suatu hal," ujar Aurara lesu. Dia tersenyum, sebelah tangannya memeluk Nimas dari samping sementara tangan lainnya masih memegang helm Kaka. Nimas pun balas memeluk, mengelusi punggung Aurara berharap dengan begitu dia dapat menyalurkan ketenangan dan kekuatan untuk Aurara.
"Lo nggak lagi kesurupan, kan, Nim?"
Ucapan Aurara di balik punggungnya sontak membuat Nimas melepas peluk mereka. Sudah cukup bijak mode on-nya, kali ini Nimas melotot.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Novela Juvenil[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...