Satu minggu kemudian
Kaka mendengkus kuat-kuat. Menatap datar Suri yang tengah berdiri-berjongkok tiada henti mencari sesuatu. Sekarang sudah hampir setengah tujuh, namun Suri belum juga menemukan dasi sekolah Kaka yang entah hilang dimana.
"Tanya Bunda aja, Kak," ucap Kaka menyarankan. Sudah bosan menunggui Suri mencarinya namun tak kunjung ketemu.
"Nggak. Nanti malah diomelin. Nyari itu pakai mata, Suri. Bukan pakai mulut." Suri menirukan gaya mengomel sang bunda. Menolak mentah-mentah saran Kaka.
Kaka menyugar rambutnya yang terlihat segar. Selain habis dipangkas rapi, Kaka juga memakai pomade untuk pergi ke sekolah setelah hampir satu bulan absen. Kaka ingin terlihat sehat dan baik-baik saja meski di dahinya masih ada luka yang ditutup dengan plaster juga kakinya yang masih belum bisa berjalan.
"Terus mau sampe kapan nyarinya? Gue harus berangkat." Kaka mengeluh. Melirik lagi arlojinya.
Suri menoleh, menatap sinis sang adik lalu berdecak kesal. "Seharusnya yang lebih pantes diomelin tuh elo. Ngomong mulu daritadi. Nyari enggak ngomel iya."
Sebenarnya, Suri tidak kesal dengan Kaka. Suri bahkan sedari tadi yang membantu Kaka menyiapkan segalanya untuk Kaka sekolah. Dari menyiapkan baju, sepatu, kaos kaki, ransel, bahkan tadi Suri hampir menyisir dan merapikan rambut Kaka jika Kaka tidak melarangnya sungguh-sungguh.
Yang membuat Suri jengkel adalah kemana kiranya dasi sekolah Kaka. Sudah Suri cari di lemari, kolong ranjang, meja belajar, laci, bahkan di kamar mandi. Namun hasilnya tetap nihil. Dasi itu tidak ada dimana-mana.
"Lo sendiri yang ngelarang gue ikut nyari."
"Kan kakinya lagi sakit sayangkuuu," gemas Suri lalu akhirnya berdiri. Berbalik menghadap Kaka dengan mengeluarkan puh pelan.
Suri berjalan gontai menghampiri Kaka yang sedang duduk di tepi ranjang. Menyapu pandang penampilan sang adik yang sudah rapi. Seragam sekolah, bersepatu, ada ransel serta hoodie, juga sebuah kruk untuk membantunya berjalan.
"Ngapain, sih lo masuk sekolah dulu?" tanya Suri kesal sekaligus khawatir. "Lo tuh masih sakit, Ka. Jalan aja susah. Coba pikir, abis turun dari mobil, lo mau dituntun siapa sampe kelas? Sendiri gitu? Gue nggak yakin tiga serangkai temen lo itu sepeka itu untuk bantuin."
"Gue punya pacar," jawab Kaka dengan wajah datar. Dia kemudian meraih sepasang kruknya lalu dengan hati-hati berdiri.
Suri membantu Kaka. Memegangi lengan sang adik yang sedang menyesuaikan keseimbangan. Sebenarnya, tak tega Suri melihatnya. Kaki kanan Kaka patah, tidak cukup hitungan hari untuknya pulih. Sehingga harus menggunakan tongkat untuk beberapa waktu ke depan.
"Percaya yang udah baikan," celetuk Suri lebih ke cibiran. Mentang-mentang punya pacar.
Kaka menoleh cepat. "Sejak kapan gue sama Rara berantem?"
"Pikir aja sendiri."
"Nggak jelas lo Medusa."
Suri mengedikkan bahu. Acuh tak acuh malah merapikan rambut Kaka lalu menepuk-nepuk kedua pipi Kaka dengan pelan. "Jangan kemana-mana, di kelas aja. Kalo laper suruh aja tiga temen lo itu. Muka mereka pantes disuruh-suruh soalnya. Kalo kebelet ya pergi ke toilet, jangan ngompol. Dah lo pokoknya duduk manis aja. Understand?"
Kaka mengangguk kecil. Mendapat perlakuan seperti ini dari kakak yang biasanya berperilaku menjengkelkan dan hanya bisa membuatnya kesal, rasanya susah sekali dijabarkan. Aneh, risih, senang bercampur jadi satu. Apalagi sejak tadi Kaka diperlakukan seperti orang lumpuh saja. Ini itu dibantu dan disiapkan. Agak lebay bagi Kaka. Namun sepertinya, momen ini adalah momen terbaik persaudaraan antara dirinya dan Suri. Mereka lebih terlihat menyayangi satu sama lain dibanding yang lalu-lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Подростковая литература[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...