3. Status Baru

5.5K 341 5
                                    

"Perkara hati itu rumit. Kita tak pernah tau akan jatuh untuk siapa dan siapa yang akan rela jatuh untuk kita."

***


Kriiiiiing kriiiiiing kriiiiing

Sebagian atau bahkan semua murid SMA Angkasa mengembuskan napas lega ketika bel sekolah berbunyi sebanyak tiga kali, tanda jika jam pelajaran telah usai. Semua bergegas merapikan barang-barang dan ingin segera sampai rumah, tak terkecuali Aurara. Cewek itu membuang napas panjang. Menyenderkan punggungnya pada kursi dan merenggangkan tulang-tulangnya yang terasa kaku seperti kanebo kering hingga terdengar bunyi kretek kretek. Nimas yang sedang membereskan alat tulisnya seketika menoleh.

"Astaghfirullah, serem banget tu punggung," ujar Nimas melirik heran. Dia melihat sekeliling, sudah sepi, hanya ada dirinya dan Aurara saja. Memang the best teman-temannya. Mereka bisa sangat cepat jika sudah mendengar bel pulang sekolah.

"Lebay. Gue capek banget gila," ucap Aurara sembari menguap lebar. Dia menegakkan punggung, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri. Setelah dia acak-acak, dia menguncir tinggi rambutnya dengan karet gelang hasil merampok pada Claudia.

"Capek apa coba?" tanya Nimas lagi-lagi heran.

"Capek belajar. Otak gue apalagi ini, capek banget. Kalo aja bisa, udah gue puter-puter nih otak biar capeknya ilang. Otak gue bunyi kayak tadi enak kali ya," ucap Aurara mulai ngawur.

Nimas sontak menjitak kepala Aurara keras. Dia menggeleng tak habis pikir. "Nih, dijitak seratus kali baru nggak capek otak lo."

Aurara mendengkus. "Bukannya capeknya ilang, otak gue geser kemana-mana dong!" protesnya.

"Lah, otak lo mah dari dulu udah geser," ejek Nimas menutup resleting ranselnya.

"Nim, kita harus selalu mensyukuri apa yang Allah kasih, kan?" tanya Aurara serius.

Nimas mengangguk.

"Gue selalu bersyukur meski kapasitas otak gue nggak segede kapasitas otak lo. Dan gue pun nggak pernah kepikiran buat ganti otak or oplas isi otak. Sumpah deh, gue nggak ada kepikiran gituan, dosa," ujar Aurara panjang lebar. Dia menatap Nimas serius, jari telunjuk dan tengahnya dia acungkan tinggi.

"Gue kadang nggak percaya bisa punya sahabat macem elo." Nimas menatap Aurara tak percaya. Entah ada dosa apa, Nimas masih bingung hingga saat ini, mengapa dia betah bersahabat dengan manusia macam Aurara hingga lebih dari sepuluh tahun. Mereka selalu satu sekolah, bahkan sangat sering satu kelas hingga satu bangku.

"Istighfar aja yang banyak," saran Aurara acuh. Dia berdiri, lalu menggendong ransel birunya yang terlihat kempis.

Nimas yang memperhatikan itu berdecak. "Ra."

"Ya?"

"Denger, kalo sekolah itu harus bawa buku dan alat tulis. Ngerti?" ujar Nimas pelan-pelan.

Aurara mengangguk seperti anak kucing. Dia tersenyum lebar. "Gue bawa kok, masa lo nggak tau?"

Nimas menghela dan menarik napas dalam-dalam. "Dibawa dari rumah ke sekolah, terus dibawa pulang lagi ke rumah, bukan dititipin di sekolah terus. Ngerti?" tutur Nimas sembari menunjuk pada kolong meja Aurara yang di dalamnya sesak penuh oleh buku tulis dan buku paket.

Kaka&Rara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang