"Thanks ya, Bim." Aurara berucap datar setelah turun dari motor Bima. Menyerahkan helm pada Bima dengan raut wajah yang tak jauh berbeda.
Bima menerimanya. Menatap lamat-lamat Aurara dengan helaan napas berat. Setelah mengikatkan helm pada bagian belakang motornya, Bima lantas mengulurkan tangan, meletakkannya di atas kepala Aurara.
"Bismillahirrohmanirrohim. Datanglah bahagia. Pergilah kesedihan. Datanglah, datanglah," ucap Bima bak membaca mantra. Matanya terpejam, seolah khusyu melakukannya.
"Aurara itu nggak cocok jadi pendiem. Cerewetlah lagi. Senyumlah lagi. Hus, hus pergi sana hal-hal jelek!" Sekali lagi Bima berujar serius. Beberapa detik ke depan, matanya kembali terbuka. Tersenyum manis pada Aurara.
"Gimana, Ra? Mantra dukun Bima manjur nggak?" tanyanya menyengir.
Aurara mengerjap, lantas tertawa kecil. "Sejak kapan ada bakat jadi dukun?"
Bima menggaruk belakang kepalanya. Menyengir lagi. "Demi Rara rela berubah jadi dukun mendadak dah gue."
"Tapi sayangnya enggak mempan."
Mendengar jawaban terlampau jujur dari Aurara membuat Bima membuang pandangan. Merutuk dirinya sendiri. Apa lagi yang harus Bima lakukan? Sedari di sekolah tadi, apapun Bima lakukan untuk menghibur Aurara. Berharap Aurara tertawa atau sekadar tersenyum secara ikhlas, bukan hanya sebagai formalitas menghargai usaha orang lain.
"Jadi Rara yang dulu di keadaan sekarang susah ya, Ra?" tanya Bima. Memainkan jari di atas setir motornya.
Aurara terdiam. Entahlah, ini terasa amat sulit baginya. Ini kehilangan yang ke sekian kali yang Aurara rasakan. Bahkan, ini lebih meyedihkan daripada saat ditinggal oleh papa dan mamanya yang memilih berpisah. Nenek, pergi secara raga dan jiwanya. Yang takkan mungkin bisa kembali padanya. Yang takkan mungkin tiba-tiba hadir di hadapannya saat dia sakit. Nenek ... pergi selama-lamanya.
"Gue." Aurara mengusap sudut matanya. Tertunduk dalam. "Gue belum capek sedih, Bim," ucapnya.
Bima ternganga. Pernyataan macam apa itu?
"Udah, ya. Gue masuk dulu," pamit Aurara kembali mendongak. "Makasih udah dianterin." Setelah itu Aurara berbalik. Membuka gerbang lalu masuk ke dalam rumahnya tanpa sepatah kata lagi.
Bima mengatupkan kembali mulutnya. Mengerjap menatap gerbang rumah Aurara.
"Sedih aja lo masih kocak, Ra."***
Suri menendang kecil kursi belajar Kaka. Tak henti bergumam kesal. Sudah berkali-kali Suri mencoba menelpon Kaka, bahkan spam chat bertanya dimanakah adiknya itu. Namun tetap saja hasilnya nihil. Ponselnya tak aktif. Entah sengaja dimatikan atau memang lowbat.
Sudah sejak semalam Kaka tidak pulang. Tiba-tiba saja pergi tanpa pamit.Bundanya juga tak henti bertanya dimana Kaka. Kenapa tadi pagi tidak turun untuk sarapan. Kenapa siang ini juga tak kunjung pulang dari sekolah. Dan pertanyaan lainnya. Suri hanya bisa mengarang jika Kaka sedang menginap di rumah Zidan karena banyaknya tugas sekolah. Suri tidak mau semakin membuat bundanya khawatir.
"Halo."
"Iya kenapa, Kak?"
"Kaka sama lo, Dan?"
"Lah? Gue kira dia gak masuk karena sakit?"
Suri segera mematikan sambungan saat mendengar nada bingung Zidan. Percuma saja bertanya, Zidan malah tidak tau. Percuma juga menjelaskan, hanya membuang-buang waktu saja.
Suri kembali menekan nomor lainnya.
"Eh, holla Kakak Suri."
Mendapat sambutan begitu membuat Suri memutar bola mata jengah. Namun mau tak mau tetap mengutarakan niatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Teen Fiction[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...