15. Putus

4.1K 249 2
                                    

"Napa lo Ka? Daritadi diem bae kayak ayam kebelet kawin," celetuk Zidan saat sedari tadi sahabatnya ini hanya diam saja. Kaka memang selalu diam saja jika tidak diajak bicara, tapi kali ini seperti memikirkan sesuatu yang berat.

"Eh pinter, ayam kebelet kawin mah malah berisik banget. Petok petok kawin petok petok kawin," koreksi Seno lalu tertawa.

"Kok lo tahu? Lo penghulunya?" tanya Zidan ikut tertawa.

"Masa sih Sen kek gitu? Perasaan nggak ada kawin-kawinnya deh kalo berisik," ujar Ilham disertai kening berkerut dalam.

"Dari lama gue mikir, lo pas pembagian otak lagi beli otak-otak?" sarkas Zidan memutar bola mata.

Ilham diam sejenak, menopang dagu berpikir. "Gue mikir dulu."

"Nggak punya otak ngapain mikir?" Seno menimpali.

"Suri."

Satu kata yang keluar dari mulut Kaka menginterupsi ketiga sahabatnya yang masih ribut mengenai otak Ilham.

"Kak Suri kenapa? Dia pake rok? Alhamdulillah Ya Allah," ujar Zidan sok tahu.

"Kak Suri kenapa Ka?" tanya Seno serius. Dia memfokuskan jiwa dan raga untuk mendengarkan Kaka yang mungkin saja akan curhat.

Kaka menghela napas. "Suri nyuruh gue putusin Aurara."

Zidan Seno dan Ilham terdiam. Saling berpandangan satu sama lain sebelum deheman Zidan memecah hening beberapa detik lalu.

"Apa masalahnya? Lo nggak sayang dia, kan?" Zidan memastikan.

"Hm," jawab Kaka singkat. Helaan napas beratnya keluar dari mulutnya lagi.

Dan untuk beberapa saat ke depan, Kaka menceritakan semua apa yang Suri katakan padanya tadi malam.

Ketiga sahabatnya manggut-manggut setelah Kaka menutup ucapan terpanjangnya dengan helaan napas kasar. Sejak semalam Kaka dibuat bingung. Di samping ucapan Suri sepenuhnya benar dan sekelebat kejadian di masa lalu itu terasa sesak penuh dalam otaknya, Kaka juga masih memikirkan perasaan Aurara.

Seno berdehem. Menaikkan satu kaki ke atas kursi kantin. "Gini Ka, Kak Suri emang bener. Kalian yang kayak gini secara gak langsung ngebuat rasa sakit untuk diri kalian sendiri. Rara yang tersiksa karena menyayangi sendirian dan lo yang terus memaksa buat sayang. Ini semua nggak ada artinya."

"Mumpung masih awal, Rara pasti gak merasa tersakiti saat ini. Dia tipe cewek yang happy aja dalam keadaan apapun," timpal Seno meyakinkan.

"Dia juga manusia. Dia bisa nangis," balas Kaka datar.

Zidan yang sudah jengah berdecak. "Elah, serius amat sih lo Ka sama tuh cewek bar-bar. Denger gue, gue yakin dan jamin, kalo lo putusin dia, dia bakal ngejar lo sampe titik darah penghabisan. Gak bakal tipe cewek kek dia nyerah dan milih diem."

"Hm. Tumben lo bener Dan," ucap Seno sedikit kagum atas ucapan Zidan.

Zidan menepuk dadanya bangga. "Gile, udah anak sultan, gue kayak Mario Teguh juga. Hebat sekali diri ini masyaallah."

"Kayak kambing elo mah," celetuk Seno tak terima.

"Bukan bukan. Zidan itu kayak monyet."
Kalimat pertama Ilham setelah curhatan Kaka sontak membuat Zidan melotot marah dan menggebrak meja kuat.

"Eh bangsat! Urus noh otak lo kemana. Belagak ngatain gue monyet. Lo tuh monyet nggak punya otak." Sumpah serapah Zidan pun akhirnya keluar.

Seno memasang wajah menyesal. "Kuping adek ternodai oleh umpatan kasar orang-orang penuh dosa, Mama," ucapnya dramatis lalu mengucap istighfar berkali-kali.

Kaka&Rara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang