64. Tidak Terwakilkan

3.2K 266 35
                                    

Pagi menyapa lembut. Matahari tampak tak malu-malu menunjukkan sinarnya. Dedaunan yang masih basah akibat semalam hujan deras turun perlahan mulai kering. Jalanan masih tampak becek. Tanah yang tersiram air hujan masih saja memanjakan hidung oleh baunya yang sangat khas. Pagi ini tampak lebih segar udaranya.

Setelah berpamitan pada Naysa juga Ismail, Aurara bergegas naik ojol yang sudah menunggu di depan gerbang. Masih cukup pagi jika untuk berangkat ke sekolah. Namun tujuan Aurara bukan ke sekolah, melainkan ke rumah Kaka. Menjemput Kaka yang katanya ingin berangkat sekolah bersama.

Setelah beberapa menit perjalanan, Aurara pun sampai. Membayar ojol lalu dengan agak ragu masuk ke dalam pekarangan rumah Kaka yang gerbangnya sudah terbuka. Sebenarnya Aurara agak ragu jika bertemu Selita.

Takut-takut jika Selita tiba-tiba akan marah dan berteriak mengusirnya. Sungguh, Aurara belum menyiapkan dirinya untuk itu. Namun nasib, sejengkal lagi tiba di depan pintu rumah Kaka, seseorang sudah membukanya terlebih dahulu. Selita, wanita itu berdiri dengan setelan rumahannya dan di tangannya ada sebuah pot kecil berisikan tanaman entah apa namaya Aurara juga tidak tahu.

"Selamat pagi, Tante," sapa Aurara agak terbata. Menunduk sopan. Juga untuk tidak siap menatap sorot tajam Selita padanya.

"Selamat pagi, Aurara."

Di luar dugaan, nada lembut dan bersahabat dari suara Selita menjawab sapaan Aurara. Bahkan ditambahi dengan senyuman wanita paruh baya tersebut. Membuat Aurara langsung mengangkat pandang. Tercengang tak percaya melihatnya. Tidak ada lagi tatapan tajam. Nada ketus dan teriakan yang dulu pun telah sirna.

"Mau jemput Kaka, ya? Dia lagi siap-siap," ucap Selita menatap Aurara yang tampak masih terkejut. "Sambil menunggu Kaka selesai, bantu Bunda menanam ini mau?" Selita mengangkat pot kecilnya.

Aurara dengan patuh mengangguk. Lantas mengikuti langkah Selita ke bagian kanan rumah di mana rimbun tanaman berjejer indah. Tidak terlalu banyak. Namun ditata sedemikian rupa hingga tampak asri.

Selita berjongkok di salah satu sudut. Di sana sudah ada sebuah sekop kecil untuk menggali tanah. Juga sebuah wadah mirip teko berisi air. Aurara ikut berjongkok di samping Selita. Mulai memperhatikan Selita yang sekarang tengah menggali tanah.

"Sebenarnya Bunda nggak suka bercocok tanam seperti ini. Kotor. Nggak ada seru-serunya. Kalau mau bunga tinggal beli. Terus kenapa harus susah-susah menanam?" Selita terdiam sejenak. Membuat Aurara jadi penasaran dan akhirnya menatap lamat-lamat Selita. "Tapi semenjak Ayahnya Kaka sibuk. Suri sibuk. Kaka sibuk. Menanam jadi kegiatan favorit di waktu luang Bunda. Dan sekarang jadilah hobi."

Aurara tanpa sadar mengangguk-angguk. Neneknya dulu juga suka menanam di sela kesepiannya saat cucu-cucunya sedang ada kegiatan masing-masing. Jika Selita menanam bunga-bunga. Neneknya dulu menanam sesuatu yang bisa dipanen. Misal cabai, tomat, kacang panjang, hingga beberapa jenis buah di halaman belakang rumah mereka.

"Kamu suka menanam juga, Aurara?" tanya Selita lagi. Kali ini berhenti menggali. Menatap Aurara penasaran.

Aurara meneguk ludahnya. Mengerjap. Tak menyangka akan dapat pertanyaan ini dari Selita.

"Rara sebenernya nggak suka. Tapi sering dipaksa Nenek untuk bantuin." Setelah beberapa detik terdiam, Aurara menjawab lebih baik.

"Nenek kamu suka menanam juga?" Wajah Selita tampak antusias. Kali ini malah sudah melupakan sekopnya.

"Iya, Bunda." Aurara jadi ikut antusias. Mulailah Aurara menjelaskan seperti apa kebun milik neneknya. Apa saja yang ditanam neneknya. Kapan waktu menanam jenis-jenis tanaman, juga kapan waktu terbaik untuk memanennya.

Kaka&Rara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang