"Bunga memang bukan simbol romantis, tapi, bunga bisa membuat dia tersenyum manis."
***
Melihat Kaka melangkah menjauh, Aurara menoleh pada Nimas. "Nim, gue kejar dulu."
Nimas mendelik. "Dih, dasar anak cacing. Bukannya dikejar malah ngejar."
"Biarin deh. Jatuh-jatuh deh harga diri gue," ujar Aurara pada Nimas. Nimas yang mendengarnya melotot. Dia menarik pelan telinga Aurara hingga menoleh padanya.
"Gimana, sih lo? Kita, kan mau kerja kelompok!" ucap Nimas tak terima. Teringat akan rencana kerja kelompoknya.
Aurara mengernyit. "Ya terus? Kan, bisa ditunda kapan-kapan, Nim. Kaka nggak bisa ditunda-tunda."
"Ya terus? Kapan-kapan tuh kapan? Ini harus dikumpul minggu depan, Ra. Oh, atau lo mau nggak dicantumin namanya? Biar gue sendiri yang kerjain. Toh, yang rugi, kan elo." Nimas berkata santai. Dia tidak memaksa.
"Yaelah, gitu aja ngambek. Janji, deh besok ngerjainnya. Kalo lo ngerjain sendiri, nggak bakal kelar, Nim. Harus ada gue," jawab Aurara sok penting.
"Dih, kayak lo berguna aja. Lo ikut duduk aja udah gapapa, buat formalitas aja." Nimas meletakkan sebelah tangannya di pinggang. Kesal Aurara sok berguna saat setiap kerja kelompok. Padahal, setiap mereka kerja kelompok selalu Nimas saja yang mengerjakan semuanya, sedangkan Aurara hanya duduk-duduk sambil melahap makanan. Namun Nimas tidak apa-apa selama Aurara tidak mengganggunya saat mengerjakan. Sungguh sahabat yang baik.
"Lo emang baik, deh. Jadi sayang," papar Aurara menaik turunkan alisnya. Iseng menjawil pipi Nimas.
Nimas memejamkan mata rapat. Mengatur dirinya agar tak menjitak Aurara sekarang juga. Bisa gawat kalau sampai dia kelapasan.
Nimas tersenyum paksa. Dia membelai rambut Aurara yang entah kesambet apa cewek itu biarkan terurai panjang.
"Rara sayang, jadi, mau lo apa sekarang? Kita tunda aja kerja kelompoknya? Iya?" tanya Nimas sangat lembut. Aurara nyengir lebar. Dia menarik pelan pipi Nimas— lagi.
"Besok aja ya, Beb. Gue kejar Kaka dulu," ucapnya.
Nimas semakin melebarkan senyumnya yang pasti sangat terpaksa. Setelah mendapat respon dari Nimas, Aurara berlari sekuat mungkin menyusul Kaka yang sudah tidak terlihat.
***
"Kaka!" Aurara berlari sedikit lagi. Dia memelankan langkahnya ketika punggung Kaka sudah terlihat.
Mendengar namanya disebut, dua langkah sebelum sampai di depan motornya Kaka langsung menyetop langkahnya. Membalikkan badan dan menemukan Aurara sedang menumpukan tangan pada lutut. Dia tampak mengatur napas yang ngos-ngosan. Dan setelah dirasa bisa kembali bernapas dengan normal, Aurara menegakkan badan. Dia mendongak.
"Kamu kok gitu sama aku, sih? Aku lagi ngambek malah ditinggal. Kirain tadi kamu nungguin aku terus ngajak pulang." Aurara kembali melancarkam aksi merajuknya.
"Enggak." Kaka menjawab pendek.
"Ish!" Aurara memutar badan membelakangi Kaka. Bukannya luluh, Kaka malah mengangkat bahu acuh. Melanjutkan langkah dan setelah sampai dia langsung bergerak memasang helm.
"Minggir. Gue mau pulang," ucap Kaka yang seketika membuat Aurara memutar badan kembali. Aurara terbengong.
"Kaka..."
"Ya?"
"Aku ... aku mau bunga. Aku mau kamu beliin bunga. Iya, aku mau bunga," ujarnya pelan dan terpotong-potong. Tidak ada cara lain, jika Kaka tidak memulainya, maka Aurara yang memulainya. Dalam cerita ini, harga diri Aurara bisa seketika setinggi langit, bahkan bisa secepat kilat anjlok dan hilang. Sudahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Teen Fiction[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...