Aurara menghela dan mengembuskan napasnya perlahan. Dia menunduk, menatap jar memory dalam genggamannya lamat-lamat. Perlahan Aurara membuka tutupnya, di dalamnya terlihat beberapa stickey notes. Tadi Aurara sudah memasukkan 'kenangannya' lagi dalam sana.
Aurara tersenyum. Ini pemberian pertama Kaka setelah mereka resmi pacaran. Tidak mewah, namun tampak sangat berharga karena akan menjadi penampungan kisah-kisah mereka yang entah akan berlanjut atau tidak.
"Andai hati gue nggak buatan Tuhan, mungkin udah hancur lebur sekarang," gumam Aurara sedih. Terlalu banyak luka untuk hatinya. Hatinya bekerja keras akhir-akhir ini. Aurara mulai berpikir jika orang-orang tak memberinya waktu untuk bahagia.
Tiba-tiba ponsel di atas ranjangnya berdering, menandakan jika ada telpon masuk. Aurara membalikkan badan, meraih ponselnya yang tergeletak kemudian membuka layar kunci. Nama 'Kakandakuuu' terpampang jelas di sana.
"Halo?"
Aurara bergeming. Mendengar suara Kaka membuat Aurara ingin menangis saja.
"Ra?"
"I-iya ini aku."
Terdengar helaan napas di ujung telepon. Aurara bisa merasakan jika Kaka tampak lega.
"Mau sampe kapan?"
"Hhng?"
"Sendiri-sendirinya."
Aurara menggigit bibirnya. Memejamkan mata menahan sesak. "Aku enggak tau."
"Jangan lama-lama, ya?"
"Gue nggak suka lo jauh-jauh."
"Ya, Ra?"
Aurara tertegun. Matanya mengerjap saat mendengar kalimat terakhir Kaka yang terdengar jelas jika sedang memohon.
"Kaka." Aurara memanggil lirih.
Tak terdengar suara Kaka untuk menjawab. Cowok itu ingin mendengarkan suara Aurara lebih banyak.
"Maafin aku."
Lalu tiba-tiba Aurara terisak. Secepat kilat Aurara mengatur napas agar tidak sampai terdengar oleh Kaka. Aurara tidak mau terlihat cengeng di mata Kaka. Namun terlambat, Kaka berdecak keras di ujung telepon menandakan jika cowok itu tidak suka mendengar tangisan Aurara.
Tutt.
Sambungan telepon langsung dimatikan sepihak oleh Kaka. Tubuh Aurara lunglai, ponsel di tangannya jatuh begitu saja di atas karpet tempat dia duduk. Aurara menutup kedua mata dengan telapak tangan, menekuk kedua lututnya seolah memeluk dirinya sendiri yang sedang menangis.
Nyatanya, Aurara selemah ini. Masa-masa tegar dan baik-baik saja tidak lagi Aurara kuat jalankan. Barangkali hanya masalah-masalah kecil namun bertubi datang di waktu bersamaan membuat Aurara menyerah akan dirinya sendiri.
Tok tok tok
Aurara tak menghiraukan ketukan pintu itu. Dia terlalu larut dalam tangisannya. Hingga suara pintu yang dibuka tak juga membuat Aurara sekadar mengangkat wajah atau menghapus airmata.
"Ra." Itu suara Naysa. Naysa berjalan mendekat. Kemudian berjongkok di depan sang Adik dan menyentuh kepala Aurara.
"Maafin Mbak Nay, Ra," ucapnya lembut. Hati Naysa ikut merasakan sesak. Naysa merasa bersalah atas nasib yang dialami adik-adiknya.
"Maafin Mbak Nay karena Papa sama Mama harus pisah.""Maafin Mbak Nay karena enggak berusaha cegah mereka. Maafin Mbak Nay, Ra, maaf."
Naysa mengelus kepala Aurara. Menatap sakit saat melihat orang yang disayanginya terluka.
Peralahan Aurara mengangkat pandang, dengan linang airmata dan tubuh yang terisak dia berucap, "Mbak Nay nggak salah. Papa sama Mama— orang dewasa selalu egois," ucapnya agak terbata. Tersirat kemarahan dalam nada bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Fiksi Remaja[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...