2. Kesempatan

805 80 4
                                    

Bel pulang sudah bunyi, Syila menghampiri Vio yang kini sudah di depan gerbang.

"Vi, lo pulang sama siapa?" Tanya Syila saat sudah disamping Vio.

Vio menoleh. "Mamang ojol aja gue mah."

"Serius?" Syila memastikan.

Vio mengangguk yakin.

"Yauda gue duluan ya, udah di tungguin aldo soalnya hehe," pamit Syila karena kekasihnya sudah menunggu.

"Ck! Terus tadi ngapin sok-sokan nanya."

"Kira aja lo mau jadi nyamuk hehe." Syila memang sangat menyebalkan.

"Ogah!" setelah itu Vio pergi karena ojol yang sudah di pesannya datang.

Saat di perjalanan Vio tidak sengaja melihat seseorang yang menabraknya tadi pagi sedang memasuki cafe yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

"Pak, stop pak!" Pinta Vio.

"Saya berhenti di sini aja," lanjut Vio kemudian turun dari motor lalu mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan.

"Ini pak, kembaliannya ambil aja." Setelah itu Vio pergi memasuki cafe yang tadi ia lihat.

Saat memasuki cafe yang memang sangat ramai ini, Vio mencari keberadaan seseorang yang tadi memasuki cafe ini, matanya menangkap seseorang yang dilihatnya tadi tengah mengantarkan pesanan.

Dia pelayan?. Batin Vio menerka-nerka.

Saat ia hendak duduk di bangku kosong tiba-tiba ponselnya berdering.

"Hallo pa," sapa Vio.

"Kamu sekarang dimana?" Tanya Hardi papa Vio.

"Emang kenapa pa?"

"Cepat pulang nanti papa jelaskan dirumah." Setelah itu Hardi memutuskan panggilan.

Vio mendengus sebal kemudian melangkahkan kakinya keluar cafe, dan mencari taksi untuk mengantarnya pulang.

Saat memasuki rumah Vio terkejut dengan kedua orangtuanya dan juga adiknya yang memakai baju sangat rapi mereka menatap Vio tajam.

"Kakak tu dali mana aja si." Adit mendengus sebal.

"Emang ini mau pada kemana si?" Tanya Vio bingung.

"Tantemu menikah besok kita harus berangkat sekarang, cepat ganti baju!" Jelas Susan.

"Berangkat ke mana ma?"

"Bandung!" Serempak mereka bertiga.

Vio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lagian dadakan banget, Vio kan gatau."

"Cepat ganti atau kita tinggal!" Ancam Susan.

"Santai dong ma," jawab Vio enteng.

"Violyn!" Ucap Hardi tegas.

"Hehe iya, Pa, iya." setelah itu Vio pergi menuju kamar.

Saat sampai di dalam kamar mata Vio tak sengaja melirik sebuah bingkai foto disana terlihat dua orang anak kecil yaitu dirinya dengan Fian tampak disana mereka tengah duduk di bangku taman.

Perlahan Vio meraih bingkai tersebut yang letaknya diatas nakas.

"Fian gue rindu sama lo, gue bakal kesana sekarang gue harap lo ga lupa sama gue," ucap Vio tanpa sadar air matanya menetes.

Pasalnya setiap malam Vio tidak bisa tidur sebelum ia melihat foto Fian atau bahkan hanya mengenggam gelang pemberian dari cowok itu, entah mengapa bayangan dan pikirannya selalu di penuhi oleh Fian firasatnya mengatakan bahwa Fian sedang tidak baik-baik saja dan membutuhkan seseorang itulah sebabnya Vio sering tertidur di dalam kelas.

"Dan semoga Lo masi nunggu kehadiran gue," lanjutnya kemudian meletakkan kembali bingkai foto tadi.

"LIMA MENIT LAGI KAMU GA KELUAR, KITA TINGGAL!!" Teriak Susan dari ruang tamu.

Vio menepuk jidatnya sendiri.
"Mampus gue."

Vio segera bergegas ia tak sempat mandi hanya mengganti pakaian dan memoleskan wajahnya dengan bedak bayi tak lupa juga polesan lip tint di bibirnya agar tak terlihat pucat dan seperti biasa ia memakai gelang pemberian Fian terkesan natural namun itulah Vio tidak mau ribet hanya karena make-up.

Saat turun dari tangga mereka bertiga menatap Vio tajam.

"Lama banged." Adit mendengus.

Vio hanya nyengir kuda.

"Yaudah ayo cepat berangkat." Putus Hardi.

Mereka berempat memasuki mobil kemudian berangkat menuju Bandung.

•••••

"Abang pasti capek ya seharian di cafe?" Ucap gadis kecil berumur 6 tahun yang memiliki nama Raya Leteshia Sherwin sedangkan kakaknya bernama Dhafian Gastiadi Sherwin.

"Ngga kok Ray, sini duduk sama abang," ucap Dhafian pada adiknya.

"Abang tadi di sekolah Raya ditanyain sama temen Raya katanya orang tua Raya kemana?" Tanya Raya yang kini sudah di pangkuan Dhafian.

Dhafian menatap gadis didepannya penuh rasa bersalah.

"Bilang sama mereka gausah sok campur urusan Raya, dan Raya ngga usah dengerin apa kata mereka," jelas Dhafian mendekap tubuh mungil Raya.

"Tapi Raya rindu papah bang," rengek Raya kemudian tangisnya pecah.

"Kapan Raya bisa ketemu papah?" Lanjutnya.

Dhafian berpikir sejenak sungguh ia sangat tidak tega melihat adiknya seperti ini, setelah kepergian ibunya kini mereka hidup hanya berdua ayahnya yang berubah setelah kepergian sang ibu kini sudah memiliki keluarga baru dan menelantarkan anaknya tanpa sedikitpun rasa kasihan ayahnya membawa seluruh hartanya.

Dulu sebelum ibu tiri nya mengandung Dhafian selalu meminta waktu sang ayah hanya untuk sekedar menemui Raya itupun hanya dua Minggu sekali, namun kini ayahnya sama sekali tak pernah mengangkat telfon darinya.

"Nanti Abang usahain, biar raya bisa ketemu Papa."

Raya mendongak menatap kakaknya.

"Abang janji." Raya mengangkat jari kelingkingnya.

"Janji." Dhafian menautkan jarinya dengan jari raya.

"Sekarang raya tidur ini udah malem."

"Abang temenin ya?" Pinta Raya.

Dhafian mengangguk kemudian menggendong Raya menuju kamar gadis itu.

Mereka tinggal dirumah yang tidak luas namun layak untuk ditempati dan tentunya nyaman.

•••••

Rindu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang