Devano meluncur di atas papan beroda empat bernama skateboard. Seperti biasa, mulutnya menggumamkan lagu yang ia dengar lewat earphone. Tinggal satu ayunan kaki lagi, dirinya mencapai gerbang sekolah.
Bugh
Sebuah pukulan pada tengkuk lehernya membuatnya tak sadarkan diri. Seseorang itu menangkap tubuhnya agar tidak terjatuh.
Keadaan sekolah yang masih sepi memudahkan seseorang yang memukul tengkuk lehernya membawa pergi menjauh dari area sekolah.
Membawanya ke gudang tua yang pengap menggunakan mobil sport yang terparkir tak jauh dari sana.
Brak
Seseorang itu menendang pintu gudang. Merangkul Devano yang masih tak sadarkan diri itu untuk berjalan ke sofa. Mendudukkan Devano di sofa yang tak layak diduduki. Napasnya terengah karena membawa Devano seorang diri dari sekolah ke gudang tua itu.
"Bos!"
Panggilan itu membuatnya tersentak kaget namun ia bisa mengembalikan raut wajahnya menjadi datar. Sepuluh orang yang biasa ia sebut anak buah menghampirinya yang masih berdiri di depan Devano.
"Wahh, ide bagus bos," ucap salah seorang anak buahnya.
"Ide apaan?" tanya seseorang itu bingung.
"Ide buat balas dendam kita selama ini sama dia," jelas anak buahnya yang lain.
"Ngapain gue balas dendam sama dia?"
"Lah, buat apa lo bawa ke sini bos?" anak buahnya itu balik bertanya.
Seseorang itu tak menjawab hanya senyum miring yang sangat tipis tercetak di wajahnya.
Devano membuka matanya perlahan lalu memejamkan matanya lagi ketika matanya menangkap sebuah cahaya. Pandangannya masih belum terlihat jelas. Ia membelalakkan mata melihat seseorang yang berdiri di depannya.
"Ndra?"
"Hai, bro."
Anak buahnya mengernyit melihatnya tersenyum. Hal yang jarang dilakukan oleh Devandra kepada semua orang. Apalagi bos mereka tersenyum hangat pada ketua OSIS yang sering menghukum mereka.
"Kenapa gue ada disini?" tanya Devano setelah mengedarkan pandangannya.
Devandra melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue yang bawa lo kesini," jawabnya enteng.
Devano melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu berdecak. "Gue telat," ucapnya lalu berdiri. Devano mengernyit ketika Devandra menahan bahunya.
"Sekali-kali napa lo bolos. Nggak bosen belajar terus?"
"Sekali-kali napa lo sekolah. Nggak bosen bolos terus?" tanyanya mengikuti gaya bicara Devandra.
Devano menahan tawanya melihat raut wajah datar saudara kembarnya itu. Cowok itu merangkul pundak Devandra. "Ayo sekolah."
Devandra tidak melangkah sedikitpun. "Ayo, Ndra. Lo mau buat ayah bangga kan? Yuk sekolah biar lo pinter," ajak Devano tidak menyerah.
"Ogah gue. Mending lo sekali-kali ngerasain bolos."
"Ogah gue. Mending lo sekali-kali ngerasain sekolah."
Devandra berdecak. "Stop ikutin kata-kata gue."
"Oke, oke," kekeh Devano pelan.
"Emang susah ngomong sama lo," ucapnya sambil mengacak rambut frustasi.
Devano terkekeh lagi. "Wahh makasih pujiannya."
Devandra mendelik. "Gue nggak muji."
"Ohh," balasnya.
Devandra merangkul Devano membuat anak buahnya mengernyit heran. Mengapa mereka terlihat begitu akrab?
"Gini deh, Van. Gue-"
"Ehem."
🌼🌼🌼
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...