BAB 44

5.6K 412 21
                                    

Vania mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan Devandra duduk sendirian ditengah keramaian taman bermain ini karena ada sesuatu yang ingin ditanyakan. Yang membuatnya penasaran sejak tadi.

"Aku boleh nanya?"

Devandra menoleh ke arah Vania. Sudut kanan bibir tipis cowok itu terangkat. "Asal lo nggak marah lagi sama gue dan anggep gue sahabat lo kayak Devano sama Dimas, lo boleh tanya apa aja sama gue."

"Karena rasa penasaran aku yang tinggi ini..." Vania menjeda ucapannya. "Aku nggak mau. Mending aku tanya sama Dimas aja," ucap Vania kesal.

Devandra melebarkan kedua bola matanya. Benar-benar ya, Vania ini tidak bisa ditebak. Devandra kemudian mengedikkan kedua bahunya.

"Ya terserah lo sih. Kalo lo tanya sama Dimas mah nggak bakal lengkap informasinya. Kalo sama gue mah lengkaaaapppp."

Ucapan Devandra itu berhasil membuat Vania yang sudah berjalan tiga langkah hendak meninggalkannya mundur lagi.

Cewek itu duduk dengan santai di dekat Devandra lagi. "Ekhem," dehem Vania pelan lalu mengulurkan tangan kanannya. Kedua mata indahnya menatap Devandra.

"Karena aku orangnya nggak suka sebel sama orang lama-lama, oke, kita sahabatan. Makanya jadi orang jangan nyebelin."

Devandra tersenyum dan membalas uluran tangan Vania. "Oke. Ngomong-ngomong, lo yang nyebelin bukan gue."

Vania mendelik. Enak aja Vania yang seimut dan menggemaskan ini dibilang menyebalkan. "Ohh, oke kita putus!"

Devandra menahan tawanya. "Sejak kapan kita pacaran?"

"Putus persahabatannya maksud aku!"

"Ya elah, baru beberapa detik yang lalu kita sahabatan," Devandra terbahak.

"Berhenti ketawa!" seru Vania.

Devandra malah tertawa semakin kencang dan membuat tak sedikit pengunjung di taman bermain memperhatikannya.

Jarang-jarang kan melihat cowok ganteng tertawa lepas seperti yang Devandra lakukan sekarang?

Vania berdiri dari duduknya dan berlari meninggalkan Devandra. "Loh, Vania. Mau kemana?"

"Neduh. Panas!" balas Vania sambil berteriak.

Devandra segera menyusul Vania berteduh. Cowok itu duduk di samping Vania yang sedang melihat anak-anak jalanan yang sedang bermain di salah satu wahana permainan bersama teman-temannya dan juga Dimas.

"Mereka siapa?"

Devandra yang semula memperhatikan wajah memerah Vania karena kepanasan beralih mengikuti arah pandangan cewek itu.

Devandra tersenyum. "Gue pernah tanya itu juga sama Devano," ucap Devandra membuat Vania menoleh ke arahnya.

"Terus?"

"Kita sehati dong?" goda Devandra lalu menoleh ke arah Vania yang sedang menatapnya. Detik berikutnya, tawa Devandra berderai.

Ekspresi wajah Vania yang datar membuat tawa Devandra reda. "Aku serius," ucap Vania dengan nada seriusnya.

"Minta diseriusin?" goda Devandra lagi. Vania masih menatap Devandra dengan raut wajah seriusnya. "Oke maaf," ucap Devandra kemudian.

Detik berikutnya Vania yang tertawa. "Muka kamu, hahaha."

Senyum Devandra mengembang. Jantungnya hampir mencelos dari tempatnya melihat wajah serius Vania. Lagi, tangannya tak sadar mencubit pipi Vania.

"Lo nyebelin banget ya?"

"Ini pipi aku bisa copot kamu tarik-tarik gitu," dengus Vania sambil mengusap pipinya.

Devandra memandang lurus ke depan beberapa detik lalu ia berkata, "habis lo lucu."

Tunggu, Devandra bilang apa tadi?

Lucu?

Vania...lucu?

"Bego," ucap Devandra tanpa suara.

"Ekhem," dehem Devandra pelan berusaha memecah keheningan yang terjadi beberapa detik.

"Maksud gue-" ucapan cowok itu berhenti ketika kepalanya yang menoleh ke kanan ke arah Vania tidak mendapati keberadaan cewek itu.

Devandra mengedarkan pandangannya. Ia menangkap sosok Vania sedang berlari menuju ke arah kamar mandi. Devandra menghela napas lega.

Untung dia nggak denger.

---

Setelah beberapa menit, Vania kembali. Cewek itu duduk di sebelah Devandra. "Maaf, aku tadi langsung ke kamar mandi. Hehe," Vania nyengir lebar. "Nyariin aku ya?"

"Nggak juga tuh," balas Devandra mengedikkan bahunya.

"Ishh, ya udah. Lanjutin jawab pertanyaan aku yang tadi."

Devandra mengangguk samar. "Pas gue nanya hal yang sama kayak apa yang lo tanyakan, Devano jawabnya mereka itu temen-temennya."

"Temen-temennya?"

Devandra terkekeh pelan. "Iya. Mereka anak-anak jalanan yang suka Devano kasih nasi bungkus setiap harinya. Lo lihat," ucap Devandra membuat Vania juga menatap ke arah pandangannya.

"Rambut mereka warnanya coklat. Nggak hitam alami. Itu bukan karena mereka warnain rambut mereka kayak yang dilakuin temen-temen gue. Tapi karena setiap hari kena sinar matahari."

"Kulit mereka juga berubah coklat gelap karena dari pagi sampe sore, mereka ada di jalanan. Ada yang ngamen, jual tisu, dan ada yang ngelap kaca mobil."

"Satu hari Devano pernah ajak gue dan temen-temen gue ngamen. Mungkin karena wajah gue sama Devano ganteng, kalo temen-temen gue mah biasa aja ya, jadi banyak uang yang kita kumpulin."

"Pede amat Bang!"

"Ya dong," balas Devandra.

Vania menoleh ke arah Devandra. "Boleh tahu kenapa Pano nggak bisa lihat lagi?" 




🌼🌼🌼

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

Devano✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang