Dokter bersiap membuka perban yang melingkar di kepala Devano setelah cowok itu menjalankan operasi. Vania, Devandra, Alfian, Dina, dan Dimas berdiri mengelilingi ranjang Devano.
Semoga berhasil.
Itu yang mereka harapkan.
"Buka perlahan," ucap Dokter.
Devano perlahan membuka kedua matanya, menuruti perintah Dokter. Devano mengerjap beberapa kali berusaha menyesuaikan cahaya yang kedua matanya tangkap.
Devano menoleh ke kanan. Ia tersenyum lebar dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Bu..Bunda."
Dina memeluk anak laki-lakinya itu. "Alhamdulillah."
Kedua mata berwarna coklat terang Devano menangkap seorang yang selama ini ia anggap sebagai pahlawannya berdiri di samping Dina.
"Ayah..." Langsung saja Alfian memeluk Devano.
Dina dan Alfian melepaskan pelukannya mendengar deheman seseorang. "Kalian lupa anggota keluarga kalian satu lagi," ucap Devandra dengan wajah memelas.
Devano merentangkan kedua tangannya. "Bilang aja kangen sama gue, sini-sini gue peluk."
"Enak aja! Lo kali yang kangen lihat wajah ganteng saudara kembar lo ini."
Devandra memeluk Devano dan memukul punggung saudara kembarnya itu berulang kali.
Devano terbatuk-batuk dan langsung melepas pelukan saudara kembarnya itu. "Parah lo, Ndra!"
"Lemah lo!"
Mereka saling melempar tatapan tajam sebelum akhirnya berseru,
"Selamat ulang tahun sodara kembar!"
Alfian dan Dina tertawa kecil melihat kedua anak laki-lakinya yang bertos ala mereka. Ya, mereka memiliki tos yang mereka buat sendiri.
"Hai!" sapa seseorang sambil melambaikan tangannya.
Devano mengerutkan dahinya melihat seorang itu. "Siapa anda?"
Devandra tertawa. Cowok itu merangkul Dimas yang menampilkan wajah datarnya. "Lo itu nggak dianggep. Sekarang keluar aja."
"Gitu lo Van sama gue!" seru Dimas yang sudah ditarik paksa Devandra keluar dari ruang rawat inap Devano.
Kedua mata Devano menangkap seorang cewek yang berdiri di samping Dimas tadi. Alfian berdehem lalu merangkul Dina, "yuk Bun, keluar."
Kedua mata elang Alfian melirik Dokter dan kedua suster yang masih setia berdiri di sebelah kiri ranjang Devano.
"Dok, mau ngapain lagi? Keluar."
Dokter itu hendak marah mendengar ucapan Alfian yang seenaknya saja menyuruh dirinya keluar. Tapi, apa ia berani memarahi pemilik rumah sakit ini?
Sekarang, yang ada di ruangan itu hanya Vania dan Devano. Vania menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri berusaha tidak terlihat gugup ketika kedua mata coklat terang itu terus menatapnya.
Devano tertawa kecil. Vania yang salah tingkah itu terlihat sangat menggemaskan di matanya. "Hei."
Vania menoleh ke arah Devano. Cewek itu menunjuk dirinya sendiri, "aku?"
"Ya iyalah, siapa lagi yang ada di situ?"
"Hehe," Vania nyengir lebar.
Devano tersenyum, "sini."
Vania sekarang berdiri di samping kaki Devano. Devano menghela napas, "sini." Vania maju satu langkah. Devano yang gemas menarik tangan cewek itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
JugendliteraturCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...