Aku harap, kalian baca sampai habis part ini. Jangan berhenti di tengah-tengah yaa. Jangan sebel juga. Pokoknya, baca sampai habis, hehe. Selamat membaca🤗
I'm Mint A🌿
🌼🌼🌼
"Senyum, hii," ucap Vania yang berjalan di samping Devano.
Sekarang mereka berdua berjalan menuju taman yang tak jauh dari komplek perumahan Devano.
Cowok yang sedang mengarahkan tongkat untuk menunjukkan arah jalannya itu berdecak malas.
"Ihh, Pano senyum," ulang Vania.
"Diem, Van," ucap Devano malas. "Nggak capek lo ngomong kayak gitu terus?"
Vania menggeleng. "Nggak. Asal Pano mau senyum, aku berhenti ngomong kayak gitu."
Devano mengangkat sudut kanan bibirnya dan mendengus kecil. "Buat apa gue senyum kalo gue nggak bisa liat orang bales senyum gue apa enggak?"
Vania terkejut mendapat balasan seperti itu dari Devano.
"Gue juga nggak bisa liat ada orang apa enggak yang harus gue lemparin senyum. Entar dikira gue orang gila senyum-senyum sendiri," lanjut Devano mencoba melawak.
Tiba-tiba, Vania bertanya dengan nada seriusnya. "Apa Pano belum ikhlas nerima keadaan Pano yang sekarang?"
Devano terdiam cukup lama lalu berkata, "Van, gue boleh jujur?"
"Apa?"
"Bisa nggak kita duduk dulu. Gue capek nih jalan dari rumah sampe ke sini. Cari tempat duduk di sekitar sini bisa? Terus gue jawab deh pertanyaan lo."
Vania tertawa kecil, "ya udah deh. Kita duduk di sana." Vania menarik tangan Devano untuk duduk di kursi yang disediakan di pinggir taman.
"Sekarang jawab."
"Gue emang menerima keadaan keadaan gue yang sekarang. Tapi untuk bisa sepenuhnya ikhlas? Gue akui, sulit. Kadang gue masih merasa sedih dengan keadaan gue yang sekarang. Boleh kan kadang gue merasa sedih?"
"Boleh, asal jangan terus menerus."
"Untuk ikhlas itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Ikhlas itu nggak semudah kita mengucapkan satu kata itu. Nggak mudah, Van. Gue udah berusaha untuk bisa ikhlas dari hari dimana gue tahu kalau gue buta. Tapi, untuk bisa bener-bener ikhlas itu sulit."
Tangan kanan Vania menyentuh tangan Devano lalu menggenggamnya. "Mau aku kasih salah satu cara buat bisa ikhlas?"
Vania meletakkan kedua jari telunjuknya di kedua sudut bibir Devano lalu mendorongnya ke atas. Vania menurunkan kedua tangannya dan tersenyum sambil menatap Devano.
"Salah satu caranya dengan terus tersenyum."
Vania kembali menggenggam tangan Devano. "Dulu, apapun masalah kamu, sebesar apapun masalah kamu, kamu pasti senyum kan? Kenapa sekarang nggak bisa? Apa Devano Alfian Putra yang aku kenal sekarang jadi lemah?" tanya Vania dengan nada meremehkan berniat membangkitkan semangat sahabatnya.
Devano menggeleng kuat. "Nggak. Devano Alfian Putra nggak lemah."
"Ya udah, senyum dong!"
Devano tersenyum. Hal itu membuat Vania ikut tersenyum. Cewek itu mengangkat kedua tangannya yang mengepal.
"Semangat!"
Devano semakin menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyum yang lebar. Cowok itu mengangguk mantap. "Semangat!"
"Sekarang aku kasih kamu tugas."
"Apa?"
"Pertahankan senyum manis itu di wajah kamu. Tebar senyum manis kamu ke semua orang. Nggak peduli orang bales apa enggak, yang penting kamu senyum. Bisa anak muda?"
Devano mengangguk mantap. "Bisa!"
Vania mengacak rambut tebal Devano. "Itu baru Devano Alfian Putra yang aku kenal!"
"Vania?"
"Iya?"
"Bantu gue."
"Apa?"
"Bantu gue buat belajar supaya bisa sepenuhnya ikhlas menerima keadaan gue yang sekarang."
"Pasti aku bantu."
Vania melebarkan kedua matanya ketika tiba-tiba Devano memeluknya erat.
"Makasih."
---
"Pak, beli es krim rasa coklatnya dua. Jangan terlalu manis ya Pak, soalnya kan saya udah manis."
Devano yang berdiri di samping Vania menoyor pelan kepala cewek itu. Penjual es krimnya tertawa. Mungkin karena mendengar celetukan Vania tadi atau karena melihat mereka berdua yang sekarang sedang berdebat?
"Heh, es krim itu dari pabriknya juga udah manis. Bapaknya juga nggak bakal nambahin gula," ucap Devano. "Lagian, emangnya lo manis?"
Vania menoleh ke arah Devano. "Iya dong, senyum aku itu manis. Kalo kamu bisa liat senyum aku, mungkin kamu bisa diabetes."
"Dih."
Vania yang akan menyerahkan satu es krim kepada Devano sontak mematung mendengar ucapan sang penjual es krim. "Mas sama Mbak cocok deh. Semoga langgeng ya."
Setelah cukup lama tak ada yang bersuara, tiba-tiba Devano berkata, "Aamiin, Pak. Terima kasih doanya."
Vania dengan cepat mendongak ke arah Devano. What?!
"Ehh?"
Vania tersadar. "Kenapa?" tanyanya pada Devano.
"Kok kaki gue kayak ada dingin-dinginnya gitu ya?"
Cewek itu lalu menunduk dan terkejut melihat kedua es krim yang ia pegang tadi jatuh tepat di atas kaki Devano. "Yahh, es krimnya!"
"Es krimnya jatuh di kaki gue?"
"Hehe, iya."
"Va-ni-aaa!"
🌼🌼🌼
Aku minta maaf kalau ada salah kata di part ini. Karena jujur, part ini aku sampe nanya sama temenku buat ngerti arti ikhlas
Makasih ya Han🤗Kasih semangat buat Devano yuk😘
Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...