BAB 40

6.6K 501 22
                                    

Devandra membuka pintu rumahnya. Ia mengernyit melihat seseorang yang berdiri memunggunginya. "Maaf, saya sama keluarga saya nggak pesen ojek online."

Pintu yang akan Devandra tutup tertahan dari luar. Cowok itu mengangkat satu alisnya bingung. "Maaf, keluarga saya bener nggak ada yang pesen ojek online."

Orang yang menahan pintu itu membuka tudung hoodie yang ia pakai. "Enak aja saya dibilang tukang ojek online. Denger ya mas, saya bukan tukang ojek online!"

Devandra mengernyit bingung. "Tapi yang mbak pake itu kayak jaket yang biasa dipake sama driver ojek online."

Orang itu menunduk melihat jaket yang ia pakai. "Aduh Mas. Bisa bedain mana jaket mana hoodie nggak sih?!"

Devandra menggeleng dengan wajah polos. Cowok itu menyenderkan kepalanya pada pinggir pintu memperhatikan cewek yang ada di depannya itu.

"Ini namanya hoodie, Mas. Ada tudungnya buat nutupin kepala." Cewek itu membalikkan badan. "Nih udah ditulis pake bordir juga masih dibilang tukang ojek online."

Devandra membaca tulisan pada bagian belakang jaket cewek itu.

Tolong dibaca dan ditulis kalau perlu. Saya bukan tukang ojek online!

Devandra menahan tawanya. Ia masih mendengarkan cewek aneh yang membunyikan bel rumahnya itu mengomel. "Udah dateng jauh-jauh, muter-muter, panas-panasan, disangka tukang ojek online. Sakit hati adek, Bang!"

Kenapa Devandra malah senyam-senyum sendiri?

Cewek itu menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. "Ya udah deh saya maafin, Mas!"

Ada yang bisa kasih tau gue salah apa?

"Saya bisa bicara sekarang, Mas?"

Dari tadi itu namanya apa kalo bukan bicara?

"Mas, apa bener ini rumahnya Devano Alfian Putra?"

Devandra mengangkat sebelah alisnya lalu mengangguk samar, "iya."

Cewek itu menghela napas lega. "Setelah mencari dari ujung sana ke ujung sana. Akhirnya aku ketemu juga sama rumahnya. Belum orangnya sih. Tapi nggak papa, hehe."

"Lo siapanya Devano?"

Cewek itu balik bertanya. "Lah Mas-nya siapanya?"

---

Devano menatap lurus ke depan. Meskipun tidak ada apapun yang ia lihat kecuali gelap. Setelah ia menyuruh Devandra untuk pergi ke kampus, Devano mendapat kabar dari ayahnya bahwa dokter belum mendapat donor mata yang tepat untuknya.

Devano menghela napas berat. Mau sampai kapan ia harus menunggu? Sudah satu tahun ia ditemani dengan apa yang ia takuti dari kecil, gelap.

Devano menggeleng kuat. "Nggak ada gunanya lo ngeluh, Dev," nasihatnya untuk dirinya sendiri. "Sabar aja. Semua akan datang pada waktu yang tepat. Dan sekarang, belum waktu yang tepat buat lo."

Devano merasakan ada seseorang yang duduk di sampingnya. Cowok itu menggerakkan kepalanya sedikit ke kanan.

"Huhh, panas banget!"

Baru panas dikit aja ngeluh.

"Kemana lagi ya aku nyari dia?" gumamnya. Cewek itu menoleh ke kiri. "Mas-nya kok diem aja? Jangan melamun Mas. Nanti kesambet lho."

Devano hanya diam.

"Mending baca buku, Mas. Kalo nggak baca novel aja. Saya suka senyum-senyum sendiri kalo lagi baca novel lho," ucap cewek itu.

Siapa yang nanya?

"Apa nonton film aja, Mas. Bagus-bagus lho filmnya. Kadang saya suka baper sendiri. Ahh, emang saya aja yang baperan."

Ni cewek modus ngajakin gue nonton?

"Saya aja diliatin lama suka baper sendiri, Mas. Tapi yang liatin saya cowok ya." Cewek itu berdecak sebal. "Mas kok diem aja sih. Tanggepin dong cerita saya!"

"Hm."

"What?!" Mulut cewek itu terbuka lebar. "Setelah saya panjang lebar ngomong cuma ditanggepi sama hm doang? Au ahh Mas, saya ngambek sama Mas!"

Terserah, bukan urusan gue!

"Mas, saya ngambek lho sama Mas!"

Devano menghela napas. Ia memaksakan senyum tipis ke arah cewek itu lalu mengangguk sopan. Devano mengambil tongkat di samping tubuhnya lalu berdiri dan mengarahkan tongkat yang membantunya mengarahkan jalan.

Cewek itu membuka mulutnya lebar lalu menutupnya menggunakan telapak tangan. Cewek itu memukul kepalanya pelan. "Bego, bego, bego! Pantesan dia nggak nanggepin omongan aku soal baca buku sama nonton film. Ahh, bego banget sihh!"

Cewek itu berlari menyusul Devano dan berhenti tepat di belakang cowok itu. Devano yang peka terhadap suara itu bertanya, "kenapa Mbak?"

"Aduh, maaf ya, Mas. Saya bener-bener minta maaf. Saya nggak tahu," ucap cewek itu sungguh-sungguh.

"Iya Mbak, nggak papa. Duluan Mbak."

Cewek itu menghela napas lega. Setelah Devano berjalan menjauh, cewek itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kok mukanya familiar gitu ya?"








🌼🌼🌼

Ada yang bisa nebak nama cewek itu? Ada bocoran namanya kok, wkwk. Kalo ada yang bisa nebak, nanti aku update 2 bab lagi😂

Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

Devano✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang