BAB 53

4.9K 351 8
                                        

Sudah seminggu ini Devano kembali seperti yang dulu. Devano yang murah senyum. Devano yang membagi kebahagiaan pada orang-orang di sekitarnya.

Dan hari ini, Devano terus menarik kedua sudut bibirnya ke atas sambil bergandengan tangan dengan Vania.

Vania menoleh ke kiri. Ia sangat bersyukur rencananya dan Devandra untuk mengembalikan senyum Devano berhasil.

Devano menoleh ke arah Vania, "Van."

"Ya?"

"Ayo kita ke tempat rahasia."

Kedua mata Vania berbinar. "Ayo!" serunya.

Untuk sampai di tempat yang mereka sebut 'tempat rahasia' itu, mereka menempuh perjalanan selama tiga puluh menit menggunakan taksi.

Setelah sampai, mereka masih harus berjalan kaki selama sepuluh menit. Vania sampai menarik tangan Devano untuk berlari saking semangatnya ingin cepat sampai di tempat itu.

"Hallooooo!"

Vania berteriak ketika sudah sampai di tempat rahasia mereka. Sayangnya, Dimas tidak ikut bersama mereka. Iya, tempat rahasia itu dibuat oleh mereka bertiga di lahan keluarga Dimas.

Devano tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Cowok itu menutup kedua matanya. Mencoba mengingat apa saja yang ada di sekitarnya.

Pepohonan yang mengelilingi lahan tempatnya berdiri. Di sebrang lahan dibangun rumah di atas sebuah pohon besar.

Di samping pohon, terdapat tangga yang digunakan untuk naik ke sana. Di bawah pohon itu, ia ingat terdapat ring basket.

"Pano!" Devano membuka kedua matanya.

"Aku di sini. Di rumah pohon!" seru Vania membuat Devano mendongak. Cowok itu memutar badannya. "Di sebelah kiri kamu."

Senyum Devano mengembang. "Heh, Van. Turun lo!" seru Devano.

"Ish, iya aku turun."

Tepat ketika Vania sudah berdiri di depan Devano, hujan turun dengan deras. "Yahh, hujan!" pekik Vania. Cewek itu lalu menarik tangan Devano.

"Mau kemana?" tanya Devano.

"Naik ke rumah pohon."

"Lo gila? Gue nggak bisa naik lah."

"Enak aja ngatain aku gila!" protes Vania.

"Sorry, keceplosan."

"Aku bantuin supaya kamu bisa naik."

"Tapi-"

"Bawel!"

Vania menarik tangan Devano tapi cowok itu tidak bergerak sedikit pun. Vania berdecak, "ayo Pano! Keburu hujannya deres."

Devano tiba-tiba bertanya, "masih inget apa yang kita lakuin pas hujan?"

Cewek yang berusaha menghalangi air hujan mengenai kepalanya menggunakan kedua tangan itu tersenyum lalu mengangguk mantap. "Masih dong."

Devano mengulurkan telapak tangan kanannya dan Vania menerima uluran tangan cowok itu.

Tidak. Mereka tidak akan menari di bawah hujan. Tapi, mereka akan berlari sambil bergandengan tangan dan...menjelekkan satu sama lain.

"Pani jelek!" teriak Devano disela-sela tawanya.

"Pano lebih jelek!" balas Vania tidak kalah keras.

"Dimi jelek banget, banget, banget!" teriak mereka berbarengan.

Yang sabar ya Dimas.

Mereka berhenti berlari. Vania berputar-putar dengan kedua tangan yang masih menggenggam tangan Devano. "Pani kangen sama tempat ini!"

Senyum Devano tambah lebar. Cowok itu tersentak kaget ketika genggaman tangannya terlepas dari kedua tangan Vania.

Bruk!

"Aduh!"

"Ehh?"

"Panooo!" teriak Vania.

Devano terbahak. Bisa-bisanya ya cowok itu menertawakan sahabatnya yang baru saja terjatuh. "Ehh, sorry, Van."

"Kamu kenapa lepas tangan aku sih?!"

Iya, tadi Devano menarik tangan kanannya dari genggaman tangan Vania. Cowok itu berpikir Vania masih bisa berputar-putar dengan menggenggam tangan kirinya. Ternyata tebakannya salah.

"Sorry, tadi gue mau ngucek mata."

"Sengaja kan, iya kan?"

"Nggak. Gue nggak sengaja," jawab Devano masih sambil tertawa. Cowok itu lalu mengulurkan tangannya. "Sini gue bantuin."

Vania akan menerima uluran tangan Devano, tapi cowok itu malah menarik tangannya.

Bruk!

"Aduh!"

Vania mendelik ke arah Devano yang tertawa terbahak-bahak. "Kalo nggak niat bantuin, nggak usah bantuin."

"Ya udah, deh. Berdiri sendiri. Nggak usah manja," ucap Devano enteng.

Vania mencoba berdiri sendiri tapi sepertinya kakinya terkilir. Devano berdecak. "Heh, Van."

"Kaki aku keseleo, Pano. Ini sakit banget," ucap Vania lirih.

"Lo boong ya?" tanya Devano tidak percaya.

Vania meringis kesakitan. "Enggak ya ampun, Pan. Ini sakit banget kaki aku."

Devano berjongkok di depan Vania membuat cewek itu melebarkan kedua matanya. "Lo bisa kan berdiri terus naik ke punggung gue?"

"Bi-bisa," jawab Vania.

Setelah Vania naik ke punggung Devano, cowok itu perlahan berdiri dengan kedua tangan yang ia letakkan di bawah lutut Vania. Vania reflek melingkarkan tangannya ke leher Devano.

"Sekarang kita balik ya. Telepon Devandra suruh jemput. Lo bantu arahin jalannya, oke?"

"I-iya."

Bego, bego, bego, gerutu Vania di dalam hati.

Gagal sudah rencana Vania mengerjai Devano. Dan sepertinya malah Vania yang dikerjai Devano.

Gara-gara sikap manis cowok itu, sekarang jantung Vania berdetak melebihi ritme.



🌼🌼🌼

Karena aku suka serial My Heart (kalau ada yang tahu), aku nambahin yang rumah pohon itu. Jadi part ini bisa dibilang terinspirasi dari serial My Heart ya, hehe

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

24-03-2020

Devano✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang