"Kamu mau ngapain Devandra? Kaki kamu patah, nggak bisa buat jalan sementara."
Devandra mendongak menatap Alfian. Bahkan ia tidak sadar dengan kaki kirinya yang terbalut perban. "Ini bukan apa-apa dibanding luka yang Devano dapat selama ini dari Ayah."
Deg
"Devano selama ini nahan semua pukulan dari Ayah. Luka Devandra ini nggak ada apa-apanya. Devandra mau ketemu Devano."
Alfian tidak dapat mengucapkan apa-apa untuk menyahuti ucapan anaknya itu. Devandra berdecak lalu berusaha menggerakkan kaki kirinya untuk turun dari ranjang yang kini sudah banyak terdapat bercak darah segar dari punggung tangannya.
"Nggak usah ketemu sama dia." Alfian menahan bahu Devandra. "Dia udah nyelakain kamu, Ndra."
Devandra menghempaskan tangan Alfian dari bahunya. "Ayah salah! Devano yang udah nyelametin Devandra."
"Tetep aja kamu celaka gara-gara dia!"
Ohh astaga
Devandra membuang napas kasar. "Iya. Devandra ketabrak motor karena Devano yang dorong Devandra. Tapi, Devano ngelakuin itu karena mau nyelametin Devandra supaya Devandra nggak kena pecahan kaca, Yah!"
Alfian menatap Devandra tidak percaya. "Ma-maksud kamu apa Devandra?!"
Ketika akan menjawab pertanyaan ayahnya itu, Devandra menggeram dan mencengkram kuat rambutnya. Cowok itu meringis kesakitan. "Yah, kapala Devandra...pusing banget."
"Devandra!"
Alfian segera menekan tombol untuk memanggil dokter. Dokter segera datang bersama dua suster. Setelah beberapa menit, dokter itu selesai memeriksa Devandra.
"Sebaiknya, biarkan anak anda istirahat dulu," ucap dokter itu.
"Saya mau ketemu dulu sama Devano, saudara kembar saya, dok," ucap Devandra lemah.
Dokter itu mengernyit bingung. Dokter itu menoleh ke arah Alfian, "anda juga orang tua dari Devano? Tolong ke ruangan saya sebentar."
---
"Kami sudah mengoperasi anak anda untuk membersihkan pecahan kaca yang mengenai kulit anak anda. Untuk bagian wajah, Alhamdulillah hanya tergores dan akan cepat kering. Jadi tidak menimbulkan bekas yang serius. Hanya saja..."
Entah mengapa dari tadi Alfian begitu memperhatikan penjelasan dari dokter yang menangani Devano. Tak sadar ia bertanya, "kenapa dengannya, dok?"
Dokter melanjutkan ucapannya, "ada pecahan kecil kaca yang mengenai kedua mata anak anda."
Deg
"Sekarang dia kehilangan fungsi indra penglihatannya sampai ada pendonor mata yang tepat untuknya," lanjut dokter itu.
Alfian membeku. Jantungnya seperti mencelos dari tempatnya. Anaknya...tidak dapat melihat lagi?
Alfian menunduk dalam. Kedua tangan pria paruh baya itu mengepal di atas lutut berusaha menyalurkan sesak di dalam dadanya. Bahunya yang kokoh bergetar. Matanya yang terpejam erat mengeluarkan air mata.
Alfian mendongak dan menatap dokter itu dengan tatapan memohon. "Tolong cepat cari pendonor mata untuk anak saya. Dia takut gelap. Tolong cepat cari pendonor untuknya."
Dokter itu mengangguk, "saya akan berusaha mencari pendonor yang tepat untuk anak anda, Pak."
Alfian pamit untuk keluar ruangan dokter itu. Pria berumur empat puluh satu tahun itu menjambak rambutnya yang sudah mulai memutih.
Bugh!
Alfian meninju tembok yang ada di depannya. Darah yang mengalir pada jemari tangannya tidak ia pedulikan. Ia terus menggumamkan kata 'maaf' berulang kali.
"Maafin ayah, Devano. Maafin ayah."
---
Riko menoleh ke belakang ketika mendengar suara pintu terbuka. Seseorang yang masuk mengejutkannya. "Pak Alfian?"
Alfian berjalan mendekat ke samping tempat anaknya terbaring lemah dengan perban yang menempel di wajahnya. "Maaf saya mengganggu."
Riko tersenyum lalu menggeleng. "Saya senang anda menyempatkan waktu anda untuk menjenguk Devano."
Kedua mata elang Alfian menatap lantai, "maafkan saya sudah membentak anda tadi. Perkataan anda benar. Selama ini saya salah pada Devano."
Riko menghela napas lega. "Syukurlah anda sudah menyadarinya."
Suara seseorang yang menggeram pelan terdengar di dalam ruangan itu. Devano perlahan membuka kedua matanya. Alfian menyuruh Riko untuk diam jika di sana ada dirinya. Riko mengerutkan dahinya dalam tapi tetap mengangguk.
"Devano," panggil Riko.
Alfian tidak bisa menahan air matanya untuk keluar. Devano berulang kali mengerjapkan kedua matanya.
Cowok itu lalu mengucek kedua matanya. "Om, lampunya mati ya? Devano takut gelap, Om. Tolong cepet nyalain lampunya."
Riko menoleh ke arah Alfian yang membalikkan badan dengan kedua tangan yang mengepal menempel pada dinding.
Pria paruh baya itu sampai memukul-mukul dinding berusaha mengurangi sesak dalam dadanya. Ia tidak dapat menahan air matanya untuk keluar dengan deras.
"Maaf," ucapnya tanpa suara.
Riko kembali menatap Devano yang masih mengucek kedua matanya. "Devano, ini lampunya nyala. Ruangan ini terang," ucap Riko cemas.
"Nggak Om. Semuanya gelap. Devano takut banget sama gelap. Tolong cepet nyalain lampunya. Devano nggak bisa liat ap-"
Deg
"Om, Devano nggak buta kan?"
🌼🌼🌼
Selamat membaca bab berikutnya🤗
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Fiksi RemajaCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...