"Pano!"
Devano yang sedang tiduran menggunakan hammock di taman belakang rumahnya itu tetap menutup kedua matanya meskipun ia mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.
Ia tahu siapa orang yang memanggilnya itu. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya. Vania.
"Panooo!" teriak Vania lagi sambil mencari keberadaan sahabatnya itu. "Panoo, dimanakah dirimu?"
"Hm," balas Devano cuek.
Kedua sudut bibir Vania terangkat. Cewek itu berjalan ke arah Devano. Senyum jahil muncul di wajah cantiknya. Ia dengan sengaja menggoyangkan hammock tempat Devano tidur.
Devano yang terkejut membuka kedua matanya. "Van!"
Vania tertawa dan masih terus menggoyangkan hammocknya. "Vania, jangan ganggu gue!" teriak Devano membuat Vania menghentikan kejahilannya.
Vania melangkah mundur ketika Devano berdiri. Cowok itu sekarang berdiri di hadapannya. "Pan-"
"Lo bisa nggak sih, nggak gangguin gue?!" ucap Devano dengan nada suara yang tinggi.
Vania tersentak. Baru pertama kalinya sahabatnya itu marah padanya. "Ma-maaf, Pano."
"Lo itu gangguin orang aja kerjaannya!"
Cewek itu mulai terisak pelan. "Ma-maaf, aku nggak ngulangin lagi deh."
"Nggak segampang itu. Lo harus kena hukuman!" ucap Devano tegas.
"Hu-hukuman?"
"Nundukin kepala lo!"
Vania melakukan apa yang Devano suruh. Cewek itu diam memperhatikan apa yang selanjutnya Devano lakukan.
Kedua tangan Devano terulur. "Mana sih kepala lo?" gerutu Devano.
Vania menarik tangan Devano dan menaruhnya di puncak kepalanya. "Berdiri tegap," suruh Devano dan Vania melakukannya.
Vania melebarkan kedua matanya ketika Devano tiba-tiba melingkarkan lengan di pundaknya. Devano sedikit membungkukkan badannya dan...
"Kyaaa!"
Setelah Devano sedikit membungkukkan badan, ia meletakkan tangan kirinya di bawah lutut Vania dan tangan kanannya berada di punggung cewek itu.
"Pano turunin Vania!"
Tawa Devano berderai. Ia membawa Vania berputar-putar. "Salah siapa gangguin gue?" ucap Devano disela-sela tawanya.
"Turunin Vania!"
"Nggak!" tawa Devano semakin berderai.
"Vania pusing, Pano!"
Devano menurunkan Vania perlahan. Vania memegangi kepalanya. Tangan kiri cewek itu memukul Devano yang tidak bisa berhenti tertawa.
"Jahil banget sih!"
"Elo sih gangguin gue," balas Devano.
Ide untuk menjahili sahabatnya muncul lagi di kepala Devano. Cowok itu melingkarkan tangan kanannya di pundak Vania. Sekarang, cowok itu malah seperti sedang memiting leher Vania.
"Aduh, Pano!"
Tangan Devano terangkat mengacak puncak kepala Vania membuat rambut cewek itu berantakan. Devano membawa Vania berputar masih dengan tangan yang melingkar di pundak cewek itu.
"Astaga, Devano!" seru seseorang itu membuat Devano melepaskan Vania. Seseorang itu menghampiri Vania. "Kamu nggak papa, Vania?"
Vania tersenyum dan mengangguk mantap. "Nggak papa, Bun."
Tangan Dina terulur menarik telinga Devano. "Kenapa anak Bunda jahil banget sih? Kasihan Vania."
"Aduh, Bunda! Telinga Devano sakit!" ucap Devano berlebihan. Iya berlebihan. Padahal Dina hanya menarik pelan telinga anak laki-lakinya itu.
Dina melepaskan jewerannya pada telinga Devano dan beralih mencubit lengan anak laki-lakinya itu. "Aduh, Bunda!" seru Devano sambil mengusap lengannya.
Dina kembali menatap Vania. "Vania bener nggak papa kan?"
"Ng-"
Tunggu. Sepertinya seru mengerjai Devano balik.
"Aduh, Bunda! Kayaknya rambut Vania banyak yang rontok," adu Vania sambil menyentuh rambutnya.
Devano menautkan kedua alisnya. Apa-apaan itu? Tadi bilangnya baik-baik saja. Wah, wah, Vania.
"Heh, jangan boong lo, Van. Mana mungkin rambut lo sampe rontok!"
"Bunda, Vania takut," ucap Vania lirih.
Dina kembali mencubit lengan Devano membuat cowok itu mengaduh pelan. "Jangan galak-galak! Ya udah yuk, Van. Kita masuk aja," ucap Bunda lalu menarik Vania masuk.
"Bunda!" panggil Devano.
Vania mengangguk. Baru berjalan tujuh langkah, Vania berbisik, "Bunda duluan aja. Nanti Vania nyusul."
Cewek itu berjalan pelan menghampiri Devano yang sedang menahan kesal. Andai saja Devano dapat melihat, sekarang Vania sedang menjulurkan lidahnya. Mengejek dirinya.
Dina masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Wanita paruh baya itu tersenyum. Ia bersyukur, anak laki-lakinya kembali tertawa lepas.
"Bunda!" panggil Alfian membuat Dina berjalan masuk ke dalam rumah.
"Wle," Vania menampilkan ekspresi mengejeknya.
"Ngapain lo?"
Vania terkejut.
"Ngapain lo?" ulang Devano.
Vania tidak menjawab. Cewek itu membalikkan badan dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Vania menggerutu pelan, "kabur, kabur, ka-"
Sret
Vania membelalakkan kedua matanya. Reflek, ia menahan napasnya. Bagaimana tidak menahan napas, wajah Devano hanya berjarak satu jengkal dengan wajahnya.
Devano mencekal pergelangan tangan Vania. "Lo pikir, gue nggak tau lo di deket gue dan masang wajah ngeselin?"
Bahkan Vania dapat merasakan hembusan napas Devano yang menampar lembut kulit wajahnya dengan jarak sedekat ini.
Sudah tidak bisa menahan napasnya lebih lama lagi, Vania menghembuskan napasnya. Devano langsung melepaskan tangan Vania yang ia cekal seolah sadar dengan jaraknya yang dekat.
🌼🌼🌼
Selamat pagi☺
Bab berikutnya baru mau aku ketik di hape yaa. Nanti langsung aku updateOhh iya, kalau ada yang bingung sama partnya, boleh banget tanya sama aku lewat pesan atau langsung komen di bagian part yang bingung
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
![](https://img.wattpad.com/cover/207908308-288-k452141.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Fiksi RemajaCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...