BAB 18

6.8K 550 2
                                        

Devandra menaikkan sebelah alisnya, "apa?"

Sudut kanan bibir Devano terangkat. "Pertama, lo sama temen-temen lo janji buat masuk sekolah yang rajin, jangan bolos, dan jangan buat onar karena bentar lagi kita lulus."

"Oke," jawab Devandra cepat.

"Kedua, hari ini kalian ikut gue ke suatu tempat."

"Kemana?"

---

Sebelas orang cowok mengernyitkan dahinya bingung berdiri di belakang seorang cowok yang tersenyum lebar.

Mereka sekarang berdiri di depan sebuah panti asuhan yang memakan perjalanan sekitar setengah jam dari gudang tadi.

Tak ada satupun dari mereka yang tidak membawa sekantong kresek besar berisi persediaan makanan dan mainan.

Tak lama, ada banyak anak-anak yang berlarian dan berteriak memanggil nama,

"Kak Devano!"

Devano menaruh kantong kresek yang ia bawa lalu berlutut ketika anak-anak berumur sekitar tiga sampai tujuh tahun yang berlari ke arahnya.

Devano merentangkan tangannya lebar, memeluk mereka. Cowok itu tertawa kecil saat mereka berebut ingin memeluknya.

Cowok itu hampir terjatuh ke belakang jika Devandra tidak mengulurkan kedua tangannya menahan bahu Devano.

Devano menoleh ke belakang. Menatap saudara kembarnya yang tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca.

Sesak dalam dada Devandra. Cowok itu sampai harus menggigit bibir bawahnya untuk menahan kedua matanya mengeluarkan kristal bening.

Sebuah suara lembut memanggil namanya dengan ragu. "Devan?"

Devandra menoleh. Langkahnya berat untuk menghampiri seseorang yang memanggilnya. Matanya mengeluarkan kristal bening yang dari tadi ia tahan.

"Bu-bunda," panggilnya terbata.

Devandra langsung memeluk seorang wanita paruh baya yang ia panggil 'bunda' itu.

Bahu cowok itu bergetar pelan. Isakannya terdengar lembut di telinga wanita paruh baya itu.

Sinta, wanita paruh baya yang mengurus panti asuhan itu mengusap punggung Devandra. "Kenapa Devan nggak pernah ke sini?"

"Maaf," gumam Devandra.

"Nggak kangen sama Bunda yaa?"

Devandra menggeleng kuat. "Devan kangen banget sama Bunda."

Cowok itu tak memperdulikan teman-temannya yang melihat dirinya menangis di pelukan wanita paruh baya itu. Teman-temannya bahkan ikut menitikkan air mata.

Devandra melepaskan pelukan. Tangannya terulur menarik tangan kanan Sinta. Menempelkan dahinya di punggung tangan Sinta.

"Maafin Devan Bun. Devan nggak pernah kesini."

Cowok itu merasa bersalah. Sudah lama ia tidak datang mengunjungi rumah keduanya itu. Dulu ketika ia masih kecil, ayahnya sering mengajak mereka pergi ke panti.

Panti asuhan milik ayah mereka.

Devano menghampiri Devandra dan Sinta. "Bun," panggilnya lalu memeluk Sinta, wanita paruh baya yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya.

Devano berbisik kepada Sinta, "Vano berhasil ngajak Devan ke sini kan Bun?"

"Iya," Sinta tertawa kecil.

Devano melepaskan pelukannya. Sinta tersenyum melihat anak-anak panti asuhan yang sedang berebut naik ke gendongan teman-teman Devandra.

"Aku dulu!"

"Nggak, kamu udah kan tadi!"

"Lari yang kenceng kak!"

"Om, aku mau digendong!"

Devandra tertawa. "Haha, lo dipanggil om Bud. Muka lo udah keliatan tua."

Budi langsung menutup mulutnya menggunakan sebelah telapak tangan. Hampir saja ia keceplosan mengumpat di depan anak-anak kecil itu.

Budi hanya nengelus dada untuk menahan amarahnya. "Sabar, sabar."




🌼🌼🌼

Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

Devano✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang