Devandra berusaha berdiri dan berjalan mendekat ke arah Devano setelah Renata dan Rian pulang. Dimas? Cowok itu tidur dengan pulas di atas karpet di bawah televisi.
"Sorry, Van. Gue baru jenguk lo sekarang."
Devano mengernyitkan dahinya mendengar suara ketukan tongkat yang beradu dengan lantai. "Lo kenapa?"
Devandra tersenyum tipis. "Kaki gue retak. Baru bisa digerakin pagi ini. Terus gue paksain deh ke sini."
"Sorry, mesti gara-gara gue," ucap Devano merasa bersalah.
Devandra meninju pelan bahu saudara kembarnya. "Paan sih lo. Gue malah yang harusnya minta maaf. Gara-gara nolongin gue, lo sekarang jadi nggak bisa liat."
"Itu karena abang harus selalu melindungi adeknya."
"Aaa, so sweet," ucap Devandra menggelikan.
Devano bergidik geli. "Bentar. Kok lo jadi aneh, Ndra? Apa gara-gara kecelakaan itu sifat kita ketuker ya?"
Devandra tertawa. "Iya ya. Lo jadi sok cool gini. Sedangkan gue jadi banyak omong banget kayak tadi."
Devano tersenyum setelah seminggu ini menyembunyikan senyumnya rapat-rapat di balik wajah datarnya. Hal itu membuat Devandra bersyukur. Ia berharap Devano akan seperti dulu lagi. Devano yang murah senyum.
"Ketemu Bunda yuk," ajak Devandra.
"Gimana sekarang keadaan Bunda?"
"Makanya ikut gue."
Devano terdiam. "Gue nggak mau ayah marah lagi."
Devandra tersenyum. "Nggak akan marah."
---
Devandra yang harus menggunakan kruk tidak bisa merangkul Devano untuk menuntunnya berjalan. Cowok itu menyuruh Devano berpegangan pada pundaknya.
Sekarang, dua cowok itu menjadi pusat perhatian orang-orang di sepanjang koridor rumah sakit selama berjalan menuju ruang rawat inap Bunda mereka.
"Gue kayaknya harus biasain jalan dengan kondisi seperti ini deh," ucap Devano lalu terkekeh pelan.
Devandra menghentikan langkahnya. Kedua mata cowok yang memakai pakaian rumah sakit itu berkaca-kaca. Dadanya begitu sesak. Ia menyeka setitik air yang ada di sudut matanya menggunakan bahu.
"Kalo gue udah bisa jalan lagi, gue bantuin lo," ucap Devandra berusaha kuat tidak menunjukkan nada suaranya yang bergetar.
"Lo mau kemana aja, gue siap jadi sopir lo. Lo nggak perlu tongkat penunjuk jalan. Gue dengan senang hati gandeng tangan lo buat nuntun lo jalan kayak waktu kita kecil dulu."
"Lo inget kan video kita pas umur satu tahun? Lo belum bisa jalan sedangkan gue udah bisa lari," tanya Devandra dibalas anggukan samar Devano.
"Gue akan kayak dulu, Van. Yang nggandeng tangan lo buat bantu lo jalan." Sungguh, sulit sekali bagi Devandra menutupi nada suaranya yang bergetar ketika berbicara.
Devano tertawa kecil. Mungkin cowok itu sedang menertawakan saudara kembarnya yang tak pintar menyembunyikan kesedihannya.
"Gini terus, Van," ucap Devandra tak bisa menutupi lagi nada suaranya yang bergetar. "Jadi diri lo yang kayak dulu. Yang selalu tebar senyuman sama kebahagiaan ke semua orang."
Devano terdiam cukup lama sebelum tersenyum dan mengangguk. "Gue akan berusaha untuk terima dengan lapang dada. Untuk ikhlas."
---
"Assalamualaikum," ucap Devandra memberi salam setelah ia membuka pintu ruang rawat inap Bundanya.
Devano terkejut ketika tangannya ditarik oleh seseorang lepas dari pundak Devandra. Tangan itu menuntunnya pelan untuk melangkah masuk.
"Devano..."
Suara merdu itu...
Suara yang selama lima tahun ini ia rindukan.
"Bu-bunda..."
Dengan bantuan seseorang tadi, cowok itu melangkah cepat seperti seorang anak yang baru bisa berjalan ke arah bundanya.
"Devano kangen Bunda," lirihnya.
Dina mengusap punggung anaknya yang bergetar itu. Devano tidak peduli orang menyebutnya cengeng. Sekarang, biarkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam sendirian ia tumpahkan di pelukan Bundanya.
Perlu kalian ketahui, saat mengetahui dirinya tidak bisa melihat, Devano tidak menangis. Ketakutannya terhadap gelap ia lawan agar orang-orang yang ada disekitarnya tidak ikut bersedih dan khawatir dengan keadaannya.
Dina tertawa kecil sambil menangis dan masih terus mengusap punggung tegap anak laki-lakinya berusaha menenangkan. "Anak Bunda kok nangis?"
"Devano kangen Bunda."
"Bunda juga kangen sama Devano," Dina mengusap rambut tebal Devano.
Devandra menyeka air matanya. "Devandra pengen dipeluk juga," rengeknya seperti anak kecil.
Cowok itu melangkah mendekat. Mendengar suara pergerakan, Devano melepaskan pelukan. Tangannya terulur dan mendorong pelan saudara kembarnya menjauh dari Dina.
"Apaan sih, Ndra. Ini Bunda gue."
Devandra membelalakkan matanya. "Kok lo tahu gue ada di sini?"
Devano mengedikkan bahunya sebagai jawaban. Entah mengapa, ia sekarang lebih peka terhadap sekitar.
"Devano..."
Devano menegang mendengar suara berat itu. Suara berat itu sudah lama tak memanggil namanya. "Devano, maafin ayah. Maafin ayah nak," ucap Alfian.
Devano membelalakkan matanya ketika merasakan kedua kakinya yang terasa berat. Tanpa ia ketahui, Alfian sedang berlutut di depannya. Kedua tangan pria paruh baya itu menyentuh kaki anak laki-lakinya.
"Ayah!" teriak Devano dan mundur satu langkah.
"Maafin Ayah, Devano," ucap Alfian.
Devano berusaha meraih pundak Alfian dan setelah berhasil, ia menyuruh ayahnya itu untuk berdiri. "Ayah nggak boleh ngelakuin kayak tadi. Devano nggak pernah marah sama ayah. Ayah juga nggak perlu minta maaf sama Devano."
Alfian tersenyum dan langsung memeluk anak laki-laki yang selalu ia banggakan itu.
"Terima kasih."
🌼🌼🌼
Ending?
Nggak kok. Masih banyak juga partnya. Dan semoga kalian nggak bosen ya bacanya, hehe
Maaf kalo part ini kepanjangan yaa dan maaf aku menuhin notifikasi kalian karena sehari update banyak part. Maklum, udah lama nggak update, wkwk
Btw, aku senyum-senyum sendiri baca komen dari kalian lho. Maaf aku nggak bales satu-satu😅
Aku update BAB 39 besok yaa, udah 5 bab yang aku update hari ini lho😂
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
19-03-2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Fiksi RemajaCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...