Seorang cowok membuka knop pintu kamar yang berada di bawah tangga. Langkahnya begitu berat untuk masuk ke dalam kamar itu.
Kedua kaki Devandra melemas melihat seseorang yang terbaring lemah di atas kasur. Ia terduduk di lantai di samping tempat tidur.
Dadanya sesak seperti ada sebuah tembok besar yang menghimpitnya. Devandra mencium punggung tangan Dina lama.
Semua orang menyebutnya singa SMA Alfian. Tapi mereka tidak tahu, kalau ia begitu lemah di hadapan wanita yang telah melahirkannya.
Air matanya yang sedari ia tahan tumpah. Bendungan yang ia buat untuk menahan air matanya sudah tidak kuat lagi menahan lebih lama.
"Bu-bunda," isaknya.
"Maafin Devandra, Bun. Devandra nggak pernah nengokin Bunda sesering Devano."
Bahunya bergetar hebat. "Devandra sedih liat Bunda kayak gini. Bunda bangun."
"Bunda bangun, biar Devano bisa bareng-bareng sama kita lagi. Kita berempat kumpul kayak dulu lagi," isaknya.
"Devandra kangen kita kumpul berempat, Bun."
---
Devano berhenti bernyanyi ketika matanya menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam kafe. Orang itu tersenyum ke arah Devano.
Devano membalas senyum Devandra dengan anggukan. Cowok itu turun dari panggung dan menghampiri saudara kembarnya itu.
Mereka berdua duduk di halaman belakang kafe yang sepi. Devano menyodorkan segelas kopi untuk Devandra.
"Baru tiga hari nggak ketemu udah kangen aja lo sama gue," Devano terkekeh.
"Pulang, Van," ucap Devandra langsung.
Devano tersenyum. "Itu kemauan lo apa Ayah?"
Devandra terdiam.
"Gue pulang kalo Ayah sendiri yang minta."
"Kenapa Ayah jadi kasar banget sama lo?" tanya Devandra.
Devano menghela napas berat. Ia harus menceritakan semuanya pada Devandra. Saudara kembarnya harus tahu.
"Ayah bilang, gue penyebab Bunda koma."
Devandra menggeleng tidak percaya. "Nggak mungkin Ayah nyalahin lo soal itu. Kita tahu itu kecelakaan."
"Bener, Ndra. Ayah nyalahin gue. Dia bilang kalo gue nggak manja minta Bunda beliin es krim, pasti Bunda masih sehat."
---
"Bunda," panggil Devano dan Devandra berbarengan.
Dina memeluk mereka. "Kayaknya seneng banget nih. Kasih tahu Bunda dong."
"Devano sama Devandra minta Ayah beliin motor sport. Besok motornya udah ada, Bun," ucap Devandra semangat.
"Wahh, Ayah kasih kalian barang mahal, ya?" Dina melirik Alfian lalu kembali menatap kedua anaknya. "Kalo dari Bunda, kalian minta apa?"
"Devano minta es krim, Bun," ucap Devano semangat.
"Devandra juga mau," sahut Devandra.
"Ikut-ikutan aja lo," ledek Devano.
"Biarin," Devandra nyengir lebar.
Dina mengusap sayang puncak kepala mereka lalu tersenyum hangat. "Ya udah, Bunda beliin," ucapnya.
Alfian menarik tangan Dina lembut, "aku aja. Kamu disini sama anak-anak."
Dina menggeleng kuat. "Mereka mintanya ke aku. Bukan ke kamu," Dina terkekeh pelan.
Dina melirik kedua anaknya yang berlari-larian di taman sebelum memeluk suaminya.
"Aku sayang kamu."
Wajah Alfian memerah, "aku juga sayang kamu, Din."
Dina melepaskan pelukannya. "Bentar ya," pamit wanita berumur tiga puluh enam itu pada suaminya.
Alfian mengangguk. "Hati-hati."
Tak lama terdengar suara keributan di pinggir taman. Perasaan Alfian menjadi gelisah. Alfian menghampiri kerumunan orang-orang itu.
Deg
"Dina!"
Alfian merengkuh tubuh lemah Dina. Darah mengalir deras di tubuh istrinya itu. Alfian menangis, "Dina, jangan tinggalin aku sama anak-anak, Din."
Dina tersenyum tipis. "A-aku sa-yang ka-lian."
🌼🌼🌼
Selamat membaca bab selanjutnya🤗
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...