BAB 55

5.2K 372 44
                                    

"Terus?"

Devano terdiam.

"Gini ya Devano. Bayangin kamu punya dompet yang isinya surat-surat berharga dan berlembar-lembar uang seratus ribuan."

"Nggak usah dibayangin, gue ada tuh," tunjuk Devano menggunakan dagu ke arah dompet yang tergeletak di atas meja belajar.

"Ish, dengerin dulu. Sombongnya nanti aja."

"Iya, gue dengerin."

"Dompet kamu itu hilang. Udah kamu cari-cari sampe kemana pun, dompet kamu nggak ketemu. Akhirnya, kamu ikhlasin dompet kamu. Tapi, setelah beberapa hari kamu ikhlasin dompet kamu, ehh, ada orang yang baik hati ngembaliin dompet kamu. Apa yang kamu rasain?"

"Seneng."

"Tambah bersyukur. Kamu bersyukur dompet itu ketemu yang artinya masih rezeki kamu. Sekarang, coba kaitkan dengan apa yang terjadi sama kamu."

Devano terdiam cukup lama. Vania sebenarnya sudah tahu apa yang akan Devano jawab. Tapi ia akan membuat cowok itu lebih yakin.

Vania menggenggam tangan Devano. "Aku mau bawa kamu ke suatu tempat. Dan semoga bisa membuat kamu lebih yakin untuk mau dioperasi."

"Kemana?"

---

Devano dan Vania berdiri di depan sebuah bangunan besar bercat putih dengan pekarangan luas yang dikelilingi berbagai macam bunga.

"Hei, awas kamu ya!"

"Jangan lari!"

"Tangkap aku kalau bisa!"

"Wle, nggak bisa nangkap aku!"

"Hei, jangan gambar di tembok. Di buku gambar aja!"

"Ini mainan aku!"

"Mainan aku!"

"Bu Sinta, Vino nangis Bun!"

Vania menepuk punggung tangan Devano yang menggenggam tangannya untuk menenangkan cowok itu.

Vania tahu. Sangat tahu. Devano sekarang sedang menahan air matanya untuk tidak keluar. Terbukti dengan genggaman tangan Devano yang semakin erat.

Seorang wanita paruh baya keluar sambil membawa beberapa toples kue kering. "Ada ap--Devano?"

Sinta menatap terkejut Devano setelah begitu lama tidak datang ke panti asuhan ini. Begitu juga dengan anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak itu langsung berlari ke arah Devano.

"Kak Devano!"

Devano hampir saja terjungkal karena anak-anak itu langsung memeluknya kalau tidak ada seseorang yang menahan punggungnya dari belakang.

"Mereka udah kangen banget sama lo, Van," ucap Devandra.

Sinta mendekat lalu memeluk Devano. Vania melepaskan genggamannya ketika cewek itu tak mampu menahan air matanya keluar.

"Gimana kabar Devano?" tanya Sinta setelah melepaskan pelukannya.

Devano hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Sungguh, dada Devano rasanya sesak sekali. Cowok itu sampai menggigit bibir bawahnya supaya tidak mengeluarkan air mata.

"Kak Devano..."

Suara dengan nada getar begitu jelas itu berhasil membuat setetes air keluar dari sudut matanya. Seorang anak cowok menarik tangan Devano dan menaruh di wajah mungilnya.

"Kak...ini Yudi."

Air mata Devano turun lagi ketika tangannya merasakan air yang membasahi telapak tangannya. Devano tersenyum dan mengangguk.

Yudi menarik tangan Devano dari wajahnya lalu menggerakkan tangan cowok itu ke kiri. "Ini Tina, Sona, Bian, Jojo, Pinkan, Juni, sama Anwar, Kak."

"Kita semua kangen Kak Devano," ucap Anwar.

Mereka lalu memeluk Devano erat. Devano mengangguk sambil memejamkan kedua matanya erat berusaha membuat air matanya tidak keluar. Namun gagal, air matanya tetap saja keluar.

"Kak Devano...Tina mau donorin mata Tina buat Kakak. Biar Kak Devano bisa liat lagi..." ucap Tina masih memeluk erat Devano.

"Mata Yudi aja, Kak. Yudi mau donorin buat Kak Devano."

Devano tersenyum lalu menggeleng. "Masa depan kalian masih panjang. Kalian harus raih cita-cita kalian, oke?"

Mereka mengangguk mengiyakan karena tak mampu untuk mengeluarkan suara yang akan terdengar bergetar begitu jelas.

Tiba-tiba, suara teriakan seseorang memecah suasana haru yang sedang terjadi. Orang itu benar-benar tidak mengerti sikon.

"Woy, kenapa gue ditinggalin di dalam mobil sendirian?!"

Mereka semua tertawa melihat seseorang dengan muka setelah bangun tidurnya berjalan menghampiri mereka.

Devandra berbisik pada anak-anak kecil itu. "Kita ceburin Kak Dimas ke kolam ikan yuk!"

"Ayo!" seru mereka lalu berlari menghampiri Dimas.

"Woy, apaan nih? Gue mau dibawa kemana?"

"Pasti kakak belum mandi kan? Kita mau ceburin ke kolam ikan!" seru Yudi.

"Dorong Kak Dimas!" seru Devandra. "Dorong! Dorong! Dorong!"

"Wah, sahabat macam apa lo," protes Dimas.

"Maaf, sejak kapan saya kenal anda?"

"Ck, nggak Devano, nggak Devandra, sama-sama bikin emosi."

Devano menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari seseorang. "Vania?"

"Aku di sini," Vania menggenggam tangan Devano yang terulur dan dibalas genggaman erat oleh cowok itu.

"Mereka sayang sama kamu. Mereka sampe mau donorin mata mereka buat kamu. Jadi, apa kamu masih nggak yakin mau operasi mata gara-gara kamu takut sama jarum suntik?"

Hanya Vania yang tahu Devano takut jarum suntik.

"Gue mau operasi, Van. Gue mau lihat lagi."

Vania menghela napas lega. Devano menggenggam kedua tangan Vania lalu mengangkatnya ke depan dada bidangnya. "Gue minta, lo tungguin gue selama operasi."

"Aku pasti nungguin kamu."

"Vania?"

"Iya?"

"Boleh peluk?"

"Hm," jawab Vania sekenanya. Jujur, jantung Vania sudah berdegup kencang sejak tadi.

Devano memeluk Vania erat. Dalam hati, cowok itu membuat satu keputusan besar dalam hidupnya setelah ia dapat melihat nanti.








🌼🌼🌼

Komen ya,
Siapa yang ada di pihak

Devano - Vania

Devandra - Vania

atau malah

Dimas - Vania

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

25-03-2020

Devano✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang