BAB 41

6.5K 503 14
                                        

Aku up ya, aku emang mau update 4 bab hari ini, hehe
Selamat membaca🤗

🌿

"Kok mukanya familiar gitu ya?"

Cewek itu membalikkan badan masih dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baru beberapa langkah, cewek itu menghentikan langkahnya.

Kedua matanya membulat. Ia langsung membalikkan badan dan melompat saking senangnya.

"Pano!"

Devano berhenti melangkah.

Suara cempreng itu...

Panggilan itu...

Dan itu pasti...Dia

Cewek itu berlari menghampiri Devano dan berdiri di depan Devano. Cewek itu menangis bahagia. "Akhirnya aku ketemu sama kamu, Pano!"

Devano memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Cowok itu merentangkan tangannya. Sedetik setelahnya, ia mengaduh pelan ketika dagunya terbentur kepala cewek itu.

Devano merasakan bahu cewek itu yang bergetar hebat. Cewek itu terus mengatakan, "akhirnya aku ketemu Pano. Aku kangen Pano."

Senyum jahil di wajah Devano muncul. "Maaf, mbak siapa ya? Main peluk-peluk saya aja!"

Cewek itu melepaskan pelukannya. "Siapa yang minta peluk. Tadi Pano dulu yang meluk."

"Maaf, ya mbak. Jangan asal ganti nama orang. Saya bukan Pano." Cewek itu mencubit perut Devano. "Aduh! Kenapa gue dicubit?!"

"Siapa suruh pura-pura nggak kenal?!"

"Siapa suruh buat gue nunggu lo?!" balas Devano. "Empat tahun gue nunggu kabar lo, Van. Lo pamit pas dua jam sebelum berangkat ke bandara. Habis itu nggak ngasih kabar ke gue lagi. Siapa yang harusnya kesel?"

"Hiks, hiks."

Devano terdiam. Cowok itu hanya ingin bercanda. Tapi malah membuat Vania menangis. "Ehh, sorry, Van. Gue cuma mau bercanda."

Vania menyeka air matanya. "Siapa yang nangis gara-gara kamu sih?"

"Lha?"

"Itu lho ada ibu-ibu yang keserempet mobil tapi nggak ada yang nolongin. Kasihan deh," jawab Vania dengan santainya.

Devano menoyor pelan dahi Vania. "Lo udah di luar negri empat tahun masih aja bego. Tambah bego malah." Vania melotot marah mendengar ejekan Devano.

"Buruan tolongin, Vania," ucap Devano gemas.

Vania melebarkan matanya. "Ehh, iya. Harusnya kita tolongin ya? Kenapa kita masih di sini? Pano gimana sih?!"

Sabar Devano, sabar.

---

Setelah membantu ibu-ibu yang terserempet mobil tadi dan orang-orang sudah membawanya ke rumah sakit, Devano dan Vania duduk di bangku taman.

"Kok bisa tau gue disini?"

"Kan hati aku bilang kalo separuh hati aku ada di sini."

Terjadi hening selama beberapa detik setelah Vania mengatakan itu. Cewek itu tiba-tiba memekik. "Eakkk, baper nggak, baper nggak?"

Devano tersenyum geli. "Di luar negri, lo bukannya tambah pinter tapi tambah bego ya?"

"Nyebelin!" Vania memukul bahu Devano. Cewek itu berdehem sebelum mulai berbicara. "Sejak kapan?"

Devano mengernyit lalu mengangguk paham setelah mengerti apa yang Vania tanyakan. "Satu tahun yang lalu. Gue nolongin-"

"Bukan itu," potong Vania. Devano mengangkat sebelah alisnya. "Sejak kapan ganteng?" sambung Vania.

Devano terbahak. "Dari lahir kali. Lo aja yang nggak pernah sadar kalo gue ganteng."

"Yee, geer banget sih. Bukan kamu Pano!"

"Lha, terus siapa?"

"Itu si Dimas. Kenapa jadi tambah ganteng? Kayaknya dia dulu buluk banget." Vania masih meneruskan kalimatnya seolah Dimas tidak berdiri di depannya sekarang.

"Dulu dekil, item, jorok, rambutnya berantakan, gayanya song-"

Pletak!

"Aduh!" pekik Vania. "Jidat Pani sakit nih, Dim! Bukannya dipeluk lepas rasa rindu. Ehh, ini malah sahabatnya dikasarin!"

"Lo nggak pernah berubah, Pan. Masih aja ngejelekin orang di depan orangnya langsung. Sakit hati gue," Dimas menampilkan wajah sedihnya.

"Jangan sedih dong, Dimi. Sini-sini, Pani peluk," Vania berdiri hendak memeluk Dimas.

Dimas menjauh. "Ogah! Kata-kata lo menyakitkan buat gue," ucap Dimas dramatis.

"Lo kok tau gue di sini, Dim?" tanya Devano.

"Gue tadi ke rumah lo. Terus nemu ni anak lagi debat sama Devandra. Terus dia nyuruh nganterin ke sini. Gue disuruh nunggu di mobil sama dia. Dia-"

"Aku punya nama. Jangan sebut aku dia kek," potong Vania.

Dimas memutar bola matanya malas. "Pani katanya mau cari lo sendiri. Katanya nggak seru kalo langsung nemuin lo. Emang aneh ni cewek. Sahabat siapa sih?"

Devano mengedikkan kedua bahunya. "Nggak tahu gue. Tadi gue mungut dia soalnya."

Dimas terbahak sedangkan Vania menghentakkan kakinya kesal. "Oke, aku balik lagi ke Paris."

Vania membalikkan badan. Tangannya terulur ke belakang seolah ada yang menahannya pergi. "Huhu, aku baru tujuh jam di kota ini udah nggak dianggap aja. Please, jangan pada nahan aku buat balik ke Paris."

Krik krik

"Pan? Dim?"

Vania menoleh ke belakang setelah lama tak mendengar ucapan kedua sahabatnya itu yang ia harapkan akan menahan dirinya. Cewek itu membuka mulutnya lebar melihat mobil Dimas melaju meninggalkannya.

"Bye, Pani!"

Vania berteriak, "sahabat macam apa kalian!"







🌼🌼🌼

Selamat membaca bab berikutnya, hehe

Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

Devano✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang