Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Devano kesal pada Vania yang pagi-pagi sudah datang ke rumahnya dan menyuruhnya bersiap-siap untuk pergi.
"Van, lo mau ajak gue kemana sih? Napa Devandra nggak ikut? Lo mau nyulik gue ya? Astaga, buat apa lo nyulik gue? Gue harus minta bantuan nih. Tolong saya--Aduh!"
Vania memukul bahu Devano keras. "Diem, ihh. Bawel banget!"
"Kasar banget lo sama gue," protes Devano.
Vania memutar bola matanya malas. "Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Pandra kan kuliah pagi. Ngapain juga aku nyulik kamu."
Devano mengedikkan kedua bahunya, "siapa tahu?"
Tangan Vania terulur menggandeng tangan Devano tapi cowok itu malah menarik tangannya. "Modus lo pegang-pegang tangan gue!"
Vania mencubit lengan Devano membuat cowok itu mengaduh. "Siapa sih yang modus?! Orang kita mau belok."
"Kalo ke taman, gue hapal jalannya. Bilang aja lo modus pengen gandengan sama cowok ganteng kayak gue," ucap Devano percaya diri.
"Dih, nggak! Kita nggak ke taman. Kita mau nyebrang ke halte terus naik bis!" ucap Vania ngegas.
"Ngapain naik bis?"
"Makanya nurut aja!" kesal Vania. Cewek itu menarik lengan Devano dengan kasar lalu menyebrang jalan.
"Pelan-pelan napa, Van? Kasar banget lo."
"Siapa tadi yang bilang aku modus pas mau aku gandeng tangannya?!" Tuhkan, Vania udah kayak singa.
"Ehh, iya, iya. Galak banget."
"Siapa yang galak?!"
"Elo," ucap Devano enteng.
Vania mendengus lalu kembali menarik kasar lengan Devano mendekat ke arah jalan raya. "Bis-nya bentar lagi dateng."
"Jangan tarik-tarik gue napa." Tangan Devano terulur dan menggenggam erat tangan Vania.
"Gini aja," ucap Devano mengangkat tangannya yang sedang menggenggam tangan Vania sambil tersenyum manis.
"Entar aku dikira modus."
"Enggak."
Tak lama kemudian, bis berhenti di depan mereka. "Ada satu anak tangga tingginya selutut," ucap Vania lalu menarik tangan Devano untuk naik ke dalam bis.
Devano tersenyum ketika dirinya berhasil naik dengan bantuan Vania. Untuk pertama kalinya ia kembali naik angkutan umum setelah kejadian satu tahun yang lalu.
Mereka duduk di kursi yang masih kosong. "Sebenernya, gue kalo jalan lebih suka digandeng. Tapi nggak ada yang gandeng gue," ucap Devano.
Vania menoleh ke arah Devano. "Kan ada Pandra sama Dimi yang dengan senang hati gandeng tangan kamu."
"Ogah. Entar gue dikira..." Devano bergidik ngeri.
Vania tertawa. "Kata Bunda, kamu dulu mau jalan-jalan digandeng sama Pandra," ejek Vania.
"Iya dulu beberapa hari setelah nggak bisa liat dan belajar pake tongkat penunjuk jalan. Kalo sekarang, nggak lah!" ucap Devano sewot.
"Lagian sekarang Devandra sibuk sama tugas-tugas kuliahnya. Kadang sibuk juga sama kerjaannya di perusahaan Ayah."
"Kerjaan?"
"Iya, Devandra udah disuruh sama Ayah belajar mimpin perusahaan."
"Emang tu anak bisa?"
Devano tertawa. "Emang kenapa dia? Keliatan bego ya?"
"Iya," jawab Vania enteng.
Tawa Devano semakin berderai. "Emang sih tu anak keliatan bego. Tapi, cuma keliatannya doang. Padahal mah aslinya pinter banget."
"Masa?"
"Bodo."
"Ish," kesal Vania. "Emang Pandra bener-bener pinter?"
"Iya. Kalo lo ketemu sama dia, tanya aja."
"Oke, kalau ketemu aku mau tanya satu tambah satu sama dengan berapa."
"Ya elah, anak TK bisa jawab kali."
"Coba kamu jawab."
"Dua."
"Bener. Pano pinter deh. Berarti Pano anak TK."
Devano berdecak. Susah memang mengobrol lama-lama dengan Vania.
"Ohh ya, aku bilangin Pandra kalau dia lagi nggak sibuk sama tugas-tugas kuliahnya atau sama kerjaan di perusahaan Ayah kamu, Pano mau diajak jalan-jalan, gitu kan?" Vania tersenyum jahil. "Aku suruh Pandra gandeng tangan Pano ya?"
"Ogah!"
"Lah kata-"
"Diem!"
"Dih, marah."
Tawa Vania reda ketika sadar tangannya masih digenggam Devano. Cewek itu berusaha menarik tangannya namun gagal.
"Nanti aja kalo udah sampe di tempat tujuannya," ucap Devano sambil mengeratkan genggamannya pada tangan Vania.
"Hm," jawab Vania sekenanya.
"Kita mau kemana sih?"
Akhirnya Vania mau menjawab apa yang menjadi pertanyaan Devano sejak tadi. "Kita mau ke kafe tempat kamu kerja."
Devano sedikit tersentak. "Ngapain?"
"Kamu nyuruh aku bantuin buat belajar sepenuhnya ikhlas kan?" Devano mengangguk samar.
"Caranya, kamu lakuin aktivitas kamu yang berhenti setelah kamu nggak bisa lihat lagi," lanjut Vania.
Devano tertawa meremehkan, "sulit Van."
"Kamu belum mencobanya kan? Kenapa kamu bisa bilang itu sulit?" Devano terdiam.
"Pano, kalau kamu bisa lakuin aktivitas yang sama seperti sebelumnya dengan keadaan kamu yang sekarang. Berarti, kamu bisa menerima keadaan dan lama-kelamaan kamu akan ikhlas dengan keadaan kamu yang sekarang."
"Van..." Devano menggeleng kuat.
"Apa yang kamu takutin? Cemoohan dari orang-orang?" tebak Vania tepat. Dengan ragu, Devano mengangguk.
"Devano buktiin sama orang-orang kalau kekurangan Devano tidak menghalangi Devano untuk bisa berkarya. Buktiin itu sama semua orang."
Vania menggenggam kedua tangan Devano. "Devano pasti bisa. Aku aja percaya sama kamu, masa kamu nggak percaya sama diri kamu sendiri?"
Nggak. Gue nggak bisa, Vania.
Devano hendak menggeleng kuat dan mengatakan apa yang ia ucapkan dalam hatinya. Tapi niatnya itu ia urungkan mendengar sebuah kalimat yang Vania ucapkan.
Sebuah kalimat yang terdiri dari tujuh kata yang entah kenapa berhasil memberinya kekuatan yang begitu besar.
"Vania akan selalu ada di samping Devano."
🌼🌼🌼
Bab berikutnya baru mau aku tulis di hape😅
Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...