"Devano!" panggil Alfian membuat anak laki-lakinya itu menoleh. Ketika sudah berdiri di hadapan Devano, Alfian langsung memeluk erat anak laki-lakinya.
Devano mengernyitkan dahinya, "kenapa, Yah?"
Devandra dan Dina menghampiri kedua orang itu. Alfian melepaskan pelukannya. Kedua mata pria paruh baya itu berkaca-kaca.
"Dokter udah ketemu pendonor mata yang tepat buat kamu."
"Alhamdulillah," ucap Dina lalu menghela napas lega.
"Akhirnya lo bisa liat lagi, Van," Devandra memeluk saudara kembarnya itu.
Berbeda dengan kedua orang tua dan saudara kembarnya yang menunjukkan raut wajah bahagia, Devano malah menunjukkan raut wajah datar.
Devano melepaskan pelukan Devandra, "Devano mau ke kamar dulu."
---
"Van, makan dulu!" seru Devandra sambil mengetuk pintu kamar Devano.
"Biarin gue sendiri dulu, Ndra!" teriak Devano dari dalam kamarnya.
"Tapi, Van-"
"Gue mohon, Ndra!"
"Ohh, oke," ucap Devandra pasrah.
Cowok itu lalu berjalan menuju dapur untuk mengembalikan nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk. Tidak seperti biasanya saudara kembarnya seperti itu.
"Devano nggak mau makan, Bun," ucap Devandra pada Dina.
"Dia dari tadi pagi belum makan lho," cemas Dina.
Alfian yang duduk di samping Dina, mengusap bahu istrinya menenangkan. "Ya udah, nggak papa. Biarin dia sendiri dulu."
Ting, tung!
Devandra menoleh ke arah pintu, "biar Devandra yang buka."
"Hai, Pandra!"
"Hai," jawab Devandra lemah.
"Napa lo lemes gitu?" tanya Dimas.
"Devano nggak mau makan. Jadi, gue ikutan lemes gini. Padahal gue udah makan dua piring nasi lho," ucap Devandra dengan wajah memelasnya.
"Pano kenapa nggak mau makan?" tanya Vania.
"Ehh iya, masuk dulu," ucap Devandra mempersilahkan masuk.
Vania dan Dimas mencium punggung tangan sepasang suami istri yang sedang duduk di meja makan. "Bunda, kenapa Pano nggak mau makan?"
"Tadi dokter ngabarin kalau Devano udah dapet pendonor mata," jawab Dina.
"Alhamdulillah," ucap Dimas.
Jadi ini yang buat kamu nggak mau makan, Pan?
---
"Pano!" teriak Vania sambil mengetuk pintu kamar Devano. Ehh, nggak. Lebih tepatnya menggedor pintu kamar Devano.
"Depano Alpian Putra!"
"Ekhem."
Suara deheman yang cukup keras itu membuat Vania menoleh lalu tersenyum kikuk. Vania lupa kalau ada Alfian dan yang lainnya sedang duduk di ruang keluarga.
"Ehh maaf, Om Alfian," Vania nyengir lebar.
Vania kembali mengetuk pintu kamar Devano. "Pano..." ucapnya lirih. Takut salah menyebutkan nama panjang Devano seperti yang ia lakukan tadi.
"Pano..."
Vania sabar.
"Pano!"
Vania masih sabar.
"Panooo!"
Sudah habis kesabaran Vania. Cewek itu menendang-nendang pintu kamar Devano berulang kali. "Depanoooo!"
Keempat orang yang berada di ruang keluarga menoleh ke arah Vania. Tak sadar, mulut mereka terbuka. Dimas ingin sekali berkata, 'gue nggak kenal tu cewek.'
Devandra hendak menghentikan aksi Vania tapi niatnya itu ia urungkan melihat pintu kamar Devano yang terbuka.
Keempat orang itu kembali melihat ke layar televisi seolah mereka tidak tertarik untuk melihat adegan dimana Devano menangkap Vania yang terjungkal ke depan.
Mereka berdua sekarang terlihat seperti sedang berpelukan. Vania menahan napasnya. Wajah Devano begitu dekat dengannya.
"Lo. Berisik. Banget!" ucap Devano menekankan setiap kata.
Vania berdiri dengan benar. "Kamu kenapa? Sok-sokan ngambek. Sok-sokan mogok makan. Padahal aku tahu tuh perut kamu pada meronta-ronta pengen makan."
"Sana keluar, gue nggak mau diganggu!" usir Devano.
"Aku nggak mau keluar!" tolak Vania.
"Keluar, Van."
"Nggak!"
"Keluar!"
"Nggak!"
Seseorang mendorong Vania dari belakang setelah itu terdengar suara pintu yang tertutup.
Blam!
Devandra dan Dimas bertos sambil tertawa di balik pintu kamar Devano yang sudah tertutup rapat.
"Dasar saudara kembar durhaka!"
"Hei, Pano!" panggil Vania sedikit berteriak.
"Apa?" balas Devano dengan nada malas.
"Kenapa nggak mau makan?"
"Lagi nggak mood."
"Kenapa nggak mood?"
"Nggak tahu."
"Gara-gara mau operasi, iya?"
Devano terdiam. Vania menarik tangan cowok itu untuk duduk di karpet. "Duduk!" Devano menurut dan duduk berhadapan dengan Vania.
"Bener tebakan aku?"
"Tebakan lo selalu bener."
"Cerita sama aku."
Devano menghela napas berat sebelum bicara. "Van, gue udah ikhlas terima keadaan gue yang sekarang. Gue nggak papa kayak gini terus. Biar donor mata itu buat orang lain aja supaya bisa lihat lagi. Gue nggak papa."
"Aku tahu, kamu bisa kayak gini terus. Kamu masih bisa cari uang buat nafkahin keluarga kamu di masa depan dengan nyanyi di kafe milik Om kamu."
"Tapi apa kamu nggak mau wujudin cita-cita kamu jadi arsitek? Apa kamu nggak mau lihat wajah Bunda lagi? Kamu belum lihat lagi kedua mata Bunda yang terbuka, Dev. Kamu nggak mau, iya?"
"Jelas gue mau wujudin cita-cita gue. Gue juga pengen banget lihat kedua mata Bunda yang terbuka lagi, Van."
"Terus?"
🌼🌼🌼
Maaf baru bisa update jam segini soalnya dari pagi aku nyelesaiin cerita Devano di laptop😅
Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Devano✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 1 Devano Alfian Putra, cowok pintar berwajah tampan. Ia selalu tersenyum hangat sehangat mentari meskipun hatinya sedang berselimut awan mendung. Sampai sebuah kejadian benar-benar membuat senyum di wajahnya menghilang seirin...