Jarak bukanlah suatu penghalang. Namun perubahan rasa dan kepercayaanlah yang menghancurkan.
***
Pukul 10.00 WIBGerald menatap gundukan tanah itu dengan tatapan sendu, matanya memerah menahan tangis yang sejak kemarin ia tahan. Ia tak boleh lemah apalagi cengeng, dia harus kuat. Pasti Papanya juga tak ingin melihat anaknya bersedih akibat kepergiannya.
Mencoba ikhlas, namun apa boleh di kata. Kehilangan orang yang kita sayangi membuat hati terpukul, merasa seluruh dunia walau di lihat dari segi manapun tetap terlihat terpuruk, layaknya kesuraman yang hanya bisa di lihat. Cahanya redup, meninggalkan duka dan lara yang tercipta di hati.
Mengingat semua kenangan bersama orang itu, kebersamaan yang tercipta bersama Papanya sewaktu dia masih kecil. Papanya yang selalu melindunginya, Papanya yang selalu menjadi pahlawannya, dan Papanya yang selalu ia banggakan. Kini raut wajah tegas penuh kewibawaan itu sudah tak ada. Meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Walau seberapa tegas sikap Hardi padanya dalam mendidiknya. Dan terkadang menyebabkan dia tak suka dengan sikapnya itu tapi dia tau semua yang Hardi lakukan itu juga demi kebaikannya. Hardi tak mau anaknya salah arah, salah dalam menentukan nasib hidup. Semua ia terapkan karena Hardi sayang dengan anaknya.
"Turut berduka cita Rald, semoga Papa lo tenang di akhirat sana dan bisa ketemu Mama lo di surga. Semoga amal ibadah beliau di terima," ucap Ravan. Cowok itu berdiri di samping Gerald yang tampak rapuh akibat kepergian sang Papa. Mengusap bahunya, berharap cara yang ia lakukan sedikit membuat cowok itu tegar.
"Amin, makasih Van," jawab cowok itu, sedikit menoleh pada Ravan lalu matanya mengarah kembali ke tempat peristirahatan sang Papa.
"Rald, udah jangan terlalu di ratapi. Doakan, Papa lo juga di sana gak mau lihat anaknya sedih karena kepergiannya," ucap Faisal. Memandang cowok itu kasihan, walau dia tak merasakan apa yang dirasakan oleh Gerald, tapi dia tau bagaimana hati cowok itu. Pasti sangat terpukul.
Gibran berjalan mendekati Ravan, dan menyuruh cowok itu menyingkir untuk mempersilahkannya berdiri di samping Gerald, memandangnya dari samping.
"Gue tau lo kuat, jangan kayak gini, meratapi kepergian seseorang itu adalah hal yang salah. Ada baiknya lo ikhlaskan dan doakan dia." Gibran berujar membuat Gerald menoleh padanya.
"Kenapa? Kaget gue udah ngomong sama lo? Padahal gue masih sebel sama lo Rald, tapi itu bukan tipe gue banget. Gue gak suka musuhan sama orang lama-lama," ucap Gibran. Lalu dia tersenyum. "Gue udah maafin lo," lanjutnya.
"Makasih, dan maaf soal waktu itu, " balas Gerald sedikit tersenyum tipis, walau kaku.
"Jangan minta maaf sama gue, tapi minta maaflah sama Lisa. Walau bagaimanapun lo berbuat salah ke dia bukan ke gue." Gibran menepuk bahu cowok itu pelan lalu segera melangkah pergi dari sana. Selesai sudah perang dinginnya dengan Gerald. Menanamkan amarah pada orang lain membuat hati tak damai, maka lebih baik memaafkan kesalahan orang itu, sesungguhnya manusia yang hebat bukan di ukur dari banyaknya harta, kepintarannya namun manusia yang hebat adalah manusia yang pandai memaafkan kesalahan orang lain.
"Omongan Gibran ada benarnya juga, lebih baik lo minta maaf sama Lisa." Suara Faisal membuat Gerald membuyarkan lamunanya, dia menoleh pada cowok itu seolah meminta pendapat. "Apakah Lisa akan memaafkan gue? Sedangkan kesalahan gue banyak banget ke dia."
"Pasti bisa, Lisa orangnya pemaaf asal lo tau."
****
"Kalian abis dari mana kok pakaian kalian serba hitam?" tanya Lisa mengamati penampilan Dela, Rosa, dan Merlin. Perempuan itu memakai kerudung hitam dengan baju dan celana yang berwarna senada dengan kerudungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERALISA (END)
Teen Fiction#Teenfiction series 💔 "Selama nafas ini masih ada, selama darah ini masih mengalir di dalam tubuh, selama jantung ini masih berdetak, dan selama kedua mata ini belum tertutup rapat. Tuhan, aku mohon izinkan aku untuk menatap dirinya yang sedang ter...