30. Boleh kecewa gak?

974 65 3
                                    

Memang, masih banyak yang lebih cantik dari aku, yang lebih sempurna dari aku, yang lebih pintar dari aku. Tapi, dari itu semua, tak ada yang setulus, serela, seikhlas aku dalam mencintai kamu.

-Lisa Silvia-

****

"Tentang pertunangan kita," ucapan Iren membuat Gerald yang sedari tadi mencoba untuk mengacuhkan kehadiran Iren dengan memainkan ponselnya, membuatnya mengangkat wajahnya dari layar ponsel miliknya setelah mendengar ucapan itu.

"Kenapa lo gak nolak itu? Kenapa harus lo terima? Memangnya lo bisa lupain Lisa? Memang lo bisa mencintai gue, yang dari dulu terus lo anggap sebagai temen?" Iren bertanya beruntun, cukup membuat hatinya terasa ngilu setelah mengucapkan rangkaian kalimat itu

"Bisa aja kan lo nolak itu? Tapi kenapa harus lo terima sih? Secara kan lo punya Lisa yang ada di hati lo," lanjut Iren bertanya, menatap tepat di manik mata cowok itu.

"Lo mau tau kenapa alasannya?" Gerald balik bertanya, membuat Iren mengangguk berulang kali sebagai jawaban.

"Karena Papa gue selalu maksa untuk menerima perjodohan itu. Gak ada penolakan, pengecualian, ataupun alasan. Dia terus desak gue dengan alasan biar gue gak salah dalam memilih perempuan yang pantas untuk di cintai. Karena lo orang yang di percaya Papa, dan juga anak dari teman akrabnya." Jelasnya. Mungkin kalimat itu adalah terpanjang yang terlontar dari mulut cowok itu untuk Iren. Karena biasanya dia hanya bicara jika seperlunya saja, dan jika menjawab pun selalu singkat.

"Karena itu? Karena paksaan Papa lo? Rald, kenapa lo harus nurut kalau memang itu bukan keinginan di hati lo?"

"Percuma, gak bakal di denger semua tolakan gue. Percuma Ren, gue nentang perintah Papa. Karena beliau yang selalu menang dan yang memegang kendali di hidup gue. Dia pengen hidup gue mengikuti jejaknya dulu. Termasuk ngejodohin anaknya sepertinya dia dulu dengan Mama."

Iren merasa agak kasihan dengan cowok di hadapannya ini. Layaknya wayang dan Hardi adalah Dalangnya. Begitulah hidup Gerald. Seberusaha apapun dia dalam menentang perintah Papanya tak akan pernah berhasil, karena Papanya sangat keras kepala dan tidak suka di tentang apapun keinginannya.

"Lo juga kenapa gak nolak?"

Iren tersenyum mendengarnya, dia menyelipkan sedikit anak rambutnya ke belakang daun telinganya sebelum menjawab.

"Sebenarnya bisa aja gue nolak, secara kan gue udah tau sifat lo itu kayak gimana, dari kecil aja udah ngeselin banget. Sampe sekarang gue masih inget waktu gue main ayunan di halaman rumah gue, lo dateng-dateng rusuh, jorokin gue sampe gue jatoh dan nangis." Ungkapnya mengingat kenangan waktu dirinya masih kecil dan sering bermain bersama Gerald di halaman rumahnya.

"Bukan cuma itu, gue sampe nyungsep ke kobakan air di halaman rumah karena waktu itu habis hujan akhirnya becek dan gue kepeleset. Cuma karena gue ngejar lo yang ambil boneka gue yang lagi gue mainin. Emang dasar jahil lo! Masih kecil aja gitu, pas sekarang beda banget sikapnya." Iren tertawa cukup keras membuat tak sedikit para siswi yang berada di meja sebelahnya menoleh padanya dengan tatapan bingung dan heran.

"Kalau di pikir-pikir kita dulu kaya saudara, kan lo di asuh Mama gue sewaktu Mama lo sering masuk rumah sakit karena penyakitnya, makanya sering bareng. Sejujurnya gue juga ogah bangun rumah tangga sama lo, udah tau sikap lo kayak gimana," ucap Iren lagi masih dengan tertawa yang mencoba untuk ia redakan.

GERALISA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang