62. Berkunjung

1.1K 78 1
                                    

Seperti matahari yang membawa kehangatan, lalu pergi dibawa oleh senja dan hanya meninggalkan kegelapan.

***

Lisa menghapus jejak air mata di pipinya, berusaha tersenyum walau hatinya terasa ngilu.

Sekarang dia sedang berada di balkon kamarnya, duduk di sofa dan menuliskan sesuatu di buku diarynya. Sudah lama dia tidak menulis kisahnya di sana.

Gadis berwajah cantik itu mendongak, lalu tersenyum saat matanya menatap rembulan disana. Cahayanya mampu menerangi kegelapan malam. Ada juga bintang-bintang kecil yang menghiasi langit malam saat ini.

Membiarkan angin malam berhembus menerpa kulit wajahnya, Lisa membenarkan kupluknya. Sudahlah, dia mencoba untuk ikhlas dengan keadaan salah satunya adalah rambutnya yang sudah tak ada lagi, rambut panjang sepinggangnya yang indah sudah ia pangkas habis.

Di balik pintu yang ingin menuju balkon, terlihat Firda terdiam, berdiri sambil menatap punggung puterinya. Merasa sedih juga dengan keadaan anaknya sekarang. Namun ia bisa apa? Kecuali ikhlas dan terus berdoa agar Allah segera mengangkat penyakit yang di derita Lisa.

"Bun, Bunda jangan banyak pikiran, takutnya nanti terjadi apa-apa sama Adik."

Suara itu membuat Firda menoleh, menemukan anak sulungnya tengah berdiri di sampingnya dan menatapnya. Entah kapan Gilang ada di sana, Firda tak tau.

"Bunda, istirahat aja ya. Biar Gilang yang temenin Lisa," ucap Gilang pada Bundanya. Membuat Firda mengangguk kecil.

"Suruh Adikmu masuk, angin malam tak baik untuk kesehatan," balasnya lalu pergi meninggalkan kamar Lisa.

Sepeninggalan Bundanya, Gilang langsung berjalan menghampiri Lisa. Menepuk bahunya membuat gadis itu menoleh.

Lisa buru-buru memalingkan wajahnya sambil menghapus air matanya dengan punggung tangannya, cepat. Takut Gilang akan mengetahui jika dirinya sedang bersedih. Dia tak mau Kakaknya itu semakin cemas dengannya.

"Dek, mikirin apa?" tanya Gilang yang sudah mengambil duduk di samping Lisa.

Lisa menggeleng sambil tersenyum tipis. "Enggak mikirin apa-apa kok Bang, cuma lagi liat bulan aja," balasnya membuat mata Gilang menyipit.

Gilang memperhatikan wajah Adiknya. Mata Lisa sedikit sembab, apakah Lisa baru saja menangis?

"Lo nangis Dek?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi, membuat Lisa langsung membuang muka tak mau bertemu tatap dengan Gilang.

"Enggak kok, kata siapa? Tadi debu masuk," elak Lisa.

"Bohong. Lo nangis gue tau mata lo sembab." Gilang tak percaya dengan jawaban Adiknya, cowok itu menarik Lisa untuk bersandar pada bahunya. "Coba ceritain kenapa lo nangis? Gak usah sungkan, cerita aja sama gue Lis," Gilang menawarkan, tapi Lisa masih tetap menggelengkan kepalanya.

"Coba Lis, jadikan gue sebagai Abang yang berguna buat lo. Gue sedih lihat lo ada masalah tapi lo gak mau cerita sama gue. Seolah gue adalah orang lain yang gak berhak tau tentang masalah lo." Gilang berucap panjang lebar, membuat hati Lisa sedikit meringis mendengar ucapan Kakaknya itu.

GERALISA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang