Prolog

4.7K 373 112
                                    

«Dia tahu inilah yang terbaik yang bisa dia dapatkan. Kebahagiaan mereka itu cukup baginya, tetapi kekosongan yang tak bisa dijelaskan membayangi hatinya yang berhenti berharap. End.»

"Huh? Tidak mungkin, ini sudah berakhir! Sial, ini cliffhanger!"

Aku berteriak frustrasi karena ending dari novel favorit yang tak sesuai keinginanku. Mengerikan betapa tragisnya akhir sang protagonis.

Apakah author-nim itu masokis? Dia sudah membuat protagonis menderita sejak kecil dan sekarang ending yang buruk, sungguh buruk. Aku ingin menangis untuk protagonis.

Aku telah mengikuti novel yang berjudul "Ways of Heroes" semenjak serialisasi pertamanya karena deskripsinya yang sangat menarik, yaitu monolog protagonis.

«"Aku akan mengubah dunia busuk ini."»

Aku membaca bab pertama kemudian menjadi ketagihan karena gaya penulisan dan sajian awal, yang menegangkan, memikatku.

Aku menyukai novel ini sampai-sampai bersedia memberikan hadiah untuk author-nim yang sangat jarang kulakukan. Mengingat bahwa aku hanyalah seorang pekerja buruh yang setiap pagi buta harus mengejar mandor bangunan untuk mendapatkan pekerjaan, contohnya mengaduk semen, membawa batu bata, dan menggulung kabel yang membahayakan.

Selain itu, aku juga mengajari anak-anak Sekolah Menengah sebagai guru les, aku punya sedikit kelebihan dalam kecerdasan.

Sayangnya, otakku yang sedikit lebih dari rata-rata tak bisa mengimbangi skema licik orang-orang yang mendapatkan pekerjaan dan posisi lewat koneksi. Memang kalau soal koneksi, aku angkat tangan. Itu karena aku merasa sulit untuk bergaul, alasannya? Jika harus kuceritakan akan jadi cukup panjang, jadi secara ringkasnya adalah aku mengalami trauma pembullyan.

"Han-ah," sapa seseorang tiba-tiba, menghancurkan rantai pemikiran yang panjang dan mengejutkanku yang sedang duduk untuk beristirahat sebentar di bangku. Hanya ada satu orang yang memanggilku seperti itu, dia adalah teman terdekatku dari lingkaran sosial kecil yang kumiliki.

Dia, Jung Jaehwan, yang selalu suka tersenyum padaku, seharusnya dia diberi nama Yoonhwan yang artinya tersenyum.

Meskipun dia terlihat baik hati dan kalem, sebenarnya dia itu menakutkan. Beberapa kali aku pernah melihatnya memukuli gangster di sebuah gang gelap, yang menuju apartemen kecilku, hingga jadi bubur, entah apa salah gangster itu. Pada saat itu, Jaehwan tidak sedang mabuk. Aku hanya bisa diam dan bersembunyi.

"Yo! Kau mikir apa sih?" Jaehwan melambaikan tangan kanannya di depan wajahku seolah dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu.

Aku berkedip beberapa kali saat bertatapan dengan mata coklat gelapnya yang seakan menghipnotis. Ah, sejujurnya dia sangat tampan jika saja separuh wajahnya tidak hancur. Jaehwan menceritakan penyebabnya yakni kecelakaan pada waktu dia di tentara, walaupun dia terdengar sama sekali tidak peduli, tetapi aku peduli.

Bukan karena itu jelek, tetapi rasanya pasti sangat menyakitkan sebab harus menahan efeknya yang dia bilang masih tersisa hingga sekarang.

"Melamun terus?" Dia bertanya lagi, kali ini dengan seringai licik yang kukenal, itu artinya dia akan jadi menyebalkan.

Sebelum dia berbuat aneh-aneh, aku menjawab, "Kau tahu, novel selai madu yang sering aku ceritakan itu berakhir dengan ending yang buruk. Aku jadi kesal!"

Kemudian, di akhir kalimat, aku memegangi kepalaku dengan frustrasi, tak menyangka novel begitu mempengaruhi suasana hatiku yang jarang berubah secara berlebihan.

Jaehwan tertawa lalu menepuk kepalaku seolah dia adalah Hyung-ku, tidak, dia memang sering menyuruhku memanggilnya Hyung! Namun, aku lebih tua darinya dalam hal usia!

Merasakan kejengkelanku yang mulai naik, Jaehwan berhenti lalu duduk di bangku tepat di sampingku.

"Han, apa kau pikir kisahnya sudah berakhir hanya karena author-nim mengakhirinya?" tanyanya sambil menoleh dan menatap lurus ke mataku.

Pertanyaan yang bermakna. Dia benar, kisah ini belum berakhir. Kalau bisa, aku akan mengubah endingnya, tidak, aku akan membuat protagonis bahagia.

"Kau benar, itu belum berakhir." Aku menyetujui maksud Jaehwan yang terkekeh lagi.

"Jika aku seorang penulis, aku akan membuat protagonis itu bahagia," lanjutku dengan tekad yang terpancar sampai-sampai Jaehwan tersentak.

"Begitukah?" Dia menatapku aneh. Kenapa? Apa pernyataanku seperti chunni? Haha, tidak seperti aku menolak julukan itu karena perasaanku sekarang memang sedikit berlebihan.

"Terima kasih, Han," ucapnya mendadak mengejutkanku. Untuk apa dia berterimakasih?

Merasakan kebingungan yang melandaku, dia menjelaskan, "Mulai besok aku tidak bisa menemuimu lagi. Ah, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain."

Dia menabur garam di atas lukaku, sialan! Namun, aku tidak bisa menunjukkan emosi ini di permukaan.

"Tapi, percayalah kita pasti bisa bertemu lagi. Kau teman satu-satunya yang kumiliki," ujarnya.

Sungguh, itu membuatku terharu. Eh, tunggu sebentar, benarkah begitu? Sejujurnya aku tak tahu apa-apa tentangnya selain dari yang kulihat dan kudengar sendiri darinya. Itu tidak adil sebab aku bercerita lebih banyak tentang diriku sendiri padanya.

Mungkin aku menjadi sedikit manja karena dia adalah satu-satunya teman yang begitu baik padaku. Setelah semua hal yang kualami di masa lalu, Jaehwan membuatku bisa melupakannya untuk sementara waktu.

Namun, dia akan pergi. Lalu, apa yang akan terjadi padaku?

Novel yang sangat kusukai sudah berakhir, begitu pula dengan pertemanan kami, tidak, seharusnya kami hanya menjadi sulit bertemu saja dan bukannya tidak berteman lagi. Pikiran negatifku yang kusut ini meracuniku.

Jika dia ingin agar aku memanggilnya Hyung, maka aku akan melakukannya. Usia tidak berarti apa-apa dibandingkan perhatiannya, dia memang seperti Hyung-ku selama ini.

Jaehwan tampaknya memperhatikan ada yang salah denganku, dia menghela napas sedih sambil menuturkan, "Ini juga bukan keinginanku, Han-ah. Kau juga sudah menjadi pria dewasa, kan? Hyung-mu ini tidak bisa selalu ada di sisimu."

Dalam mata coklatnya, terpantul bayanganku yang terkesan suram. Mungkin aku terlalu bergantung padanya sehingga aku sulit menerima bahwa kami takkan bertemu lagi seperti biasanya.

"Baiklah, Hyung. Seperti yang kau katakan," tegasku seraya berpura-pura baik-baik saja.

Ini sudah hampir malam, pekerjaan kami juga sudah selesai. Jadi, saatnya perpisahan. Jaehwan beranjak dari duduknya dan menghadap ke arahku sambil membelakangi cahaya senja.

"Han, aku harap kau tidak membenciku ketika kita bertemu lagi. Selamat tinggal," ucapnya, kemudian berbalik dan berjalan pergi meninggalkanku di sini.

Aku tidak mengerti mengapa dia mengatakan itu, tetapi anehnya aku merasakan emosi yang tak bisa dipahami terbangun dalam diriku.

Kilasan-kilasan masa lalu yang seperti klip film yang rusak bermunculan di benakku, membuatku sakit kepala.

Aku memutuskan untuk pulang ke apartemen kecilku, itu tidak jauh dari sini. Langit senja di latar belakang turut mewarnai kesedihan yang berangsur-angsur menusukku seperti duri.

Entah mengapa, aku melihat sesuatu yang aneh ketika menatap langit. Mungkin itu halusinasi, tidak mungkin ada hal absurd seperti itu di dunia ini, kan?

Rasanya seperti melihat sensor film yang rusak dan potongan adegannya hancur, seolah-olah dunia ini hanya tersusun atas potongan-potongan adegan.

Ketika sampai di kamar apartemen, aku melupakan halusinasi tadi dan langsung berbaring ke tempat tidur karena kelelahan.

Rasa kantuk menyerang dan menyeretku ke dalam mimpi yang tak bisa dijelaskan. Tenggelam dalam lautan kegelapan, satu-satunya cahaya yang ada itu menjangkau diriku dan aku meraihnya.

***

Kebahagiaan Protagonis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang