50 | Bad Dream

207 19 22
                                    

kalo tiap chapter hampir 2000-an kata, pada capek bacanya ga ya?

***

"Sayang, kapan Tuhan akan kasih kita baby?"

Pertanyaan Sharon membuat aktivitas bercumbunya dengan Abbas terhenti seketika. Abbas yang berada di atas tubuh Sharon langsung menjauhkan diri dan menatap istrinya dengan sorot yang sulit diartikan.

"I want a baby. But why God hasn't given us sampe sekarang ini?" Suara Sharon terdengar pilu.

Tahun ini sudah tahun ketiga perkawinan mereka dan mereka belum juga dikaruniai anak. Sebenarnya, Abbas dan Sharon telah mencoba banyak sekali promil. Tapi hasil selalu tidak sesuai ekspetasi mereka.

"Bas, are you disappointed?" tanya Sharon.

Abbas langsung menggeleng. "No. I'm not. Aku nggak pernah kecewa menikah sama kamu hanya karena kita belum dikasih anak sama Tuhan."

"Are you lying?" Sharon bertanya lagi.

"For what? Kenapa aku harus bohong?"

"Papa nanya ke aku, kapan aku bisa kasih cucu kedua untuk beliau. Kadang aku capek menghadapi hal-hal seperti itu, Babe." ujar Sharon, "Apa kamu nggak mau punya baby? Pasti mau 'kan..."

Abbas tersenyum simpul. "I always want a baby. Tapi perasaan itu nggak sebesar perasaan aku mau kamu, Sayang."

"Jangan gombal, deh.. Aku serius." Sharon memasang mimik cemberut.

"That is the truth, Shar. You always have my heart. Hatiku isinya kamu. Otakku isinya kamu. Baby? Ya sometimes I think about it. But you? Selalu, Sayang. Nggak pernah kadang."

"Ah, aku jadi terharu." Sharon membalas.

Abbas terkekeh pelan lalu mengecup singkat bibir Sharon. Lelaki itu mengambil posisi berdiri. "Sekarang kamu istirahat, ya."

"Kamu?" Sharon menautkan kedua alisnya.

"Aku masih ada kerjaan yang harus diurus. Nanti aku nyusul. Sweet dream, my wife." Abbas memberi senyum dan kemudian meninggalkan kamar.

Menjadi seorang pengusaha besar, seringkali menyita waktu istirahat Abbas. Abbas harus selalu siap sedia mengurus pekerjaannya.

Kini, lelaki itu telah tiba di ruang kerjanya. Ia duduk di kursi dan membuka satu persatu dari setumpuk dokumen yang harus ia baca dan tanda tangani. Sambil bekerja, Abbas memikirkan ucapan Sharon.

"Bayi?" Abbas bergumam pelan sembari tangannya bergerak di atas dokumen-dokumen miliknya.

"Aku bahkan tidak pernah memikirkannya." Abbas terkekeh sendiri.

Terkadang, Abbas merasa bahwa Sharon itu bodoh. Mengapa harus meribetkan diri sendiri? Untuk apa? Seharusnya Sharon bersyukur menjadi istri seorang pengusaha besar yang kekayannya tak terbatas. Bukan malah menginginkan bayi yang bisanya hanya menangis dan menangis.

Beberapa menit berlalu, Abbas telah menyelesaikan semua pekerjaannya yang tertunda. Ia menutup semua map dan menumpuknya kembali di atas meja.

SATURNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang