8. Surat Undangan

52.3K 6.3K 888
                                    

----

☘☲☘☲☘☲☘☲☘

“Dia ...” Putri Sasimi menahan suaranya sebentar, senyumnya mengembang penuh misteri.

“ ... Terlalu cantik.”

Suasana di dalam ruang makan membeku seketika. Para pangeran yang semula duduk santai, kini menegang. Para selir saling memandang dengan raut tak percaya, bahkan Permaisuri Liu Wei pun tanpa sadar menegakkan duduknya.

“Bukan seperti cantik yang sering kalian lihat di lukisan istana atau nyanyian para penyair,” lanjut gadis itu pelan, nadanya serius. “Tapi jenis kecantikan yang akan membuat kalian terdiam. Membuat kalian lupa bagaimana caranya bicara ... bahkan bernafas.” Ia menatap meja seolah melihat kembali bayangan gadis itu dalam ingatannya.

“Dia seperti lukisan yang terlalu hidup ... Tapi dingin. Sorot matanya tidak ada kelembutan dan tatapannya ... bisa menembus siapa pun yang berani memandang balik. Kulitnya pucat bersih, tak ada cela. Alisnya tajam seperti lukisan pena tinta di atas sutra putih.”

Pangeran Ketiga berbisik pelan, “Kau sedang menggambarkan ... Seorang dewi.”

Putri Sasimi menggeleng perlahan. “Tidak. Dewi masih terlalu ramah. Dia lebih seperti ratu penguasa di medan perang. Seindah itu ... Tapi tidak bisa didekati. Mungkin jika kalian mendekatinya kalian akan di banasakan."

Para pangeran saling pandang. Beberapa dari mereka bahkan merasa dadanya berdebar aneh hanya karena mendengar deskripsi itu. Sebagian selir berusaha menyangkal, menganggap Putri Sasimi berlebihan ... tapi ekspresi wajahnya terlalu jujur untuk disebut berbohong.

“Putri ini tahu,” jedanya, kali ini dengan suara rendah namun penuh penekanan, “... Jika gadis itu hadir di acara perjamuan kerajaan, tidak akan ada satu pun dari kalian yang mampu berpaling darinya.”

“Bahkan jika wajahnya hanya muncul satu detik,” tambahnya dengan senyum kecil yang agak getir. “Itu akan cukup untuk menghapus semua wajah wanita yang pernah kalian lihat sebelumnya.”

Hening

Lalu ... Suara kursi bergeser.

Pangeran Mahkota berdiri, langkahnya tenang namun penuh ketegasan mengitari meja makan lalu duduk disebelah kursi kosong disamping putri Sasimi.

Tatapan tajamnya mengarah ke depan. “Mi’er,” ucapnya dalam nada berat, “gadis itu ... kau yakin berasal dari Kerajaan Qiang?”

Putri Sasimi tidak bilang seperti itu, dia ... Tidak sepenuhnya yakin.

Permaisuri Liu Wei menggenggam tangan Kaisar Chen, lirih berkata, “Apakah mungkin?”

Kaisar Chen menyipitkan mata, matanya menatap lurus seolah menembus tembok istana. “Jika benar apa yang Mi’er lihat ... maka ada sesuatu yang sedang bergerak di balik layar Kerajaan Qiang. Dan gadis itu ... bukanlah orang biasa.”

Ruangan kembali hening.

"Putri ini berharap ... dia bisa menjadi Jiejie putri ini," gumam Putri Sasimi lirih, pandangannya menatap langit-langit ruangan seolah mencari jawaban. Wajahnya yang ceria kini memudar, digantikan sorot sendu dan kecewa. Di dalam hatinya, Kyra jauh lebih pantas menyandang gelar kakak dibanding para Jiejie yang hanya tahu membenci.

Kaisar, Permaisuri, dan para pangeran tak kuasa menyembunyikan rasa iba. Sang gadis periang itu kini murung, dan itu lebih menyakitkan daripada tangisan.

Permaisuri Liu Wei menggenggam tangan putrinya, tersenyum hangat. "Kalau begitu, Mi'er ... Ibunda akan berusaha. Mungkin suatu hari nanti, gadis itu benar-benar bisa menjadi Jiejie-mu."

𝙏𝙞𝙢𝙚 𝙏𝙧𝙖𝙫𝙚𝙡 : 𝙤𝙛 𝙖 𝘾𝙤𝙡𝙙-𝙃𝙚𝙖𝙧𝙩𝙚𝙙 𝙒𝙤𝙢𝙖𝙣Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang