Bab 19

122 44 4
                                    

Melamun, Ina merasa kasihan kepada Ibu dan Bapak. Menggantungkan hidup di kios sepatu dan pakaian Bapak sepertinya sudah tidak mampu menopang kehidupan keluarganya.

"Kalo kayak gini terus, bisa-bisa gak bakalan mampu nabung dong yah? Secara uang penghasilan Bapak aja udah pas-pasan buat bayar kiosnya. Lah kita dapat apa?" pikir Ina.

"Kasihan juga si Bapak, orang pasti sangat jarang beli sepatu sama pakaian di waktu kayak gini. Paling kalo rame pas mau lebaran doang, emang kita makan pas mau lebaran aja? Yah enggak lah gila apa," Ina menggelengkan kepalanya.

Jujur, sewaktu membuka tudung saji tadi gadis itu berharap ada suatu makanan yang bisa di makan.

Perutnya sangat lapar, terakhir makan di sekolah itu pun pemberian Regal. Cowok itu, menyebalkan tapi perhatian juga.

Ina menggelengkan kepalanya saat memikirkan Regal. Gak, gak boleh sampai simpati sama cowok modelan dia!

"Gila apa seorang Inasyha suka Regal?" ucapnya geli.

"Enggak, pokoknya gue harus berhasil membahagiakan keluarga gue sendiri. Jadi gue harus singkirkan apa yang gue inginkan dahulu, gak papa perjuangan memang harus ada yang di korbankan," tutur Ina sendiri, sedih namun harus bagaimana lagi.

"Meskipun suatu hari nanti gue suka sama seseorang, pokoknya gue harus singkirkan perasaan itu, ya harus!" lanjutnya menggebu-gebu.

Masih dalam posisi rebahan, Ina melihat langit-langit kamarnya dengan tatapan hampa.

Kali aja ada makanan ya kan?

Terkekeh, ada-ada saja. Selain suka rebahan, Ina juga suka makan. Kalo di suruh milih makan atau tidur Ina akan memilih keduanya, kalo bisa dua kenapa satu?

Melangkah keluar, Ina berniat untuk mengatakan sesuatu kepada Ibunya.

"Ibu?" panggil Ina, Ibu menoleh.

"Iya Kak, ada apa?" jawab Ibu lembut, wanita itu tidak pernah berkata kasar kepada anak-anaknya sekalipun dalam kondisi marah. Itu yang Ina sangat sukai dari wanita yang melahirkan dirinya.

"Gini, Ina mau usul sesuatu," ujar Ina duduk di sebelah Ibu.

"Usul apa sayang?" Ibu melihat Ina dengan tatapan serius.

"Gimana kalau Bapak ganti jualannya?" ucap Ina.

Sebelum melanjutkan, Ina merangkai kata sebaik mungkin, lalu, "Kan yang beli sepatu sama pakaian itu jarang Bu, nggak tiap hari. Sekalinya ada, dalam sebulan hanya cukup untuk bayar kiosnya. Kita jadi gak bisa nabung dan lain-lainnya kan Bu?"

Dalam hati, Ina terkekeh, gak nyangka gue bisa merangkai kata bagus gitu. Mantab lah ada kemajuan selain rebahan.

Mengelus tangan Ina, Ibu menjawab, "Kamu benar sekali nak, tapi mau dikemakan sisa sepatu dan pakaian itu? Sebelum kamu usul, Ibu sudah terlebih dulu mengatakan itu kepada Bapak."

Berarti usul gue udah keduluan dong? Ah, terlambat. Gak papa lain kali coba lagi.

"Ouh gitu yah Bu? Jadi Bapak bingungnya itu?" tanya Ina yang diangguki oleh Ibu.

***

I

na berangkat dengan senyumnya mengucapkan syukur, karena masih diberi kesehatan di pagi yang teramat cerah ini.

Tamara melihat Ina tengah berjalan menuju kelasnya. Dengan cepat gadis itu mengejar sahabatnya dan,

"Dar!" teriak Tamara membuat Ina kaget setengah hidup.

Ina mendelik, lalu mengatakan, "Lo mau foto gue ada di buku yasin?"

Tamara tertawa sambil menggelengkan kepalanya, seru juga mengerjai Ina, pikirnya.

"Maaf, hehehehe," kekeh Tamara.

"Tumben berangkat pagi?" tanya Ina heran, biasanya Tamara hanya akan berangkat pagi jika dia mendapatkan jadwal piket.

Tamara tersenyum kaku, dan menjawab, "Pengen lihat aja."

Ina mengerutkan kepalanya, "Lihat apa?"

"Lihat lo tidur di pagi hari, hahahahahaha," jawab Tamara tertawa lagi.

Ina tidak tertawa, karena menurutnya tidak ada yang lucu sama sekali. Tapi memang benar, Ina berangkat pagi untuk tidur di kelas.

Sampai di kelas, Ina memandang Tamara yang masih tertawa dengan perasaan cemas.

Sepertinya Tamara mulai gila!

"Gawat!" teriak Ina, beruntung kelas masih sangat sepi lantaran jam masih menunjukkan kurang pukul 06.00 pagi.

Tamara mengerjapkan matanya, mendadak diam. Apa yang gawat?

"Gawat!" lagi, Ina teriak.

"Kawat kali ah," timpal Tamara tertawa lagi.

"Gilaaaa," teriak Ina histeris.

"Siapa-siapa?" tanya Tamara takut.

Ina memandang Tamara bego, kenapa dia bertanya?

"Lo, aaaaaa," Ina berteriak histeris, lebay.

Tamara diam, sepertinya yang gila bukan dirinya tapi Ina!

"Na, sadar Na!" teriak Tamara membuat Ina kaget.

"Jadi ini sebenarnya siapa yang gila?" tanya Tamara.

"Kalian," Ina dan Tamara menoleh ke arah suara itu, ternyata Regal.

Regal mendekat ke bangku dua sahabat gila itu. Sambil menggelengkan kepalanya, Regal berkata, "Gila teriak gila."

Merasa tidak terima, Ina maju dan memincingkan seragamnya. Lalu berteriak, "Lo yang gila."

Regal menghembuskan nafasnya, apalagi ini? Kemarin, pingsan kekurangan makanan. Apakah ini gila karena kelebihan makanan?

Bisa jadi!

"Stop, jangan bergerak," seru Regal dengan kedua tangannya menjaga jarak.

"Anda tahanan!" timpal Tamara bodoh.

"Tangkap!" perintah Ina lantas Regal langsing berlari.

Ketiganya, bodoh.

Terjadilah adegan kejar-kejaran di antara manusia bodoh itu.

Regal, tidak menyadari jika dirinya ikutan bodoh.

"Stop atau Anda saya tembak," ujar Ina dengan tangannya menirukan adegan menembak.

"Tembak aja, gue terima kok," jawab Regal terkekeh.

Tamara mengerjapkan matanya, bentar-bentar ini maksudnya apa?

Sementara Ina, berpikir. Maksud dari perkataan Regal itu apa?

"Terima apanya?" tanya Ina dengan bodohnya.

Tamara melihat Regal miris, bodoh sekali cowok itu dalam memberikan kode.

"Lo siap menerima tembakan gue?" tanya Ina lagi.

"Siap, siap sekali."

Tamara menepuk dahinya lelah.











Hanya bisa sedikit, hehehe.
Tangan saya masih sakit hehehe.
Makasih yang suka sama cerita ini, hehehe.

Hehehehe mulu perasaan!
Hehehehe.
Yaudah yah, hehehe.

-Anya


Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang