Bab 58

92 35 2
                                    

Hari demi hari berlalu, Zidan semakin dekat dengan Reyna. Gadis itu ternyata jika sudah dekat dengan seseorang, mudah sekali untuk bercerita masalah hidupnya yang ia buat sendiri.

Di tempat lain, Ina sedang duduk di tepi danau. Danau tempat kesukaan Regal, sosok yang sampai saat ini masih hadir di mimpinya.

"Lo tahu gak sih Re, jungkir balik nahan rindu itu gak enak banget," kata Ina sembari melampar batu kecil ke danau.

"Dan, sampai saat ini gue belum tahu gimana kondisi lo sekarang. Apakah lo masih bisa gue lihat, atau mungkin sekarang gue yang gak bisa lihat lo," lanjut Ina menatap langit.

Terhitung sudah satu bulan dari peristiwa jatuhnya pesawat itu.

Ina sama sekali tidak mendapatkan kabar dari keluarga Regal. Jangankan dia, ibu panti dan sekeluarga saja tidak tahu.

"Gue ikhlas banget Re, kalo emang lo udah tenang di atas sana. Tapi hanya satu yang gue pinta, gue pengen lihat jasad lo Re," Ina menunduk, menjatuhkan air matanya.

"Terakhir kita ketemu, sewaktu lo ngenalin Reyna sebagai pacar lo yang statusnya adalah adik gue sendiri," lanjut Ina kembali mengingat hari itu.

"Dan ini, adalah benda peninggalan terakhir dari lo, Regaldhino Dwimasatya."

Ina memeluk erat botol kaca yang berisi surat dari Regal. Surat pertama dan terakhir yang pernah cowok itu tuliskan untuknya.

Dari kejauhan, Tamara melihat itu semua. Tamara ikut sedih atas peristiwa yang menimpa sahabatnya.

"Gue tahu perasaan lo Na. Kita ditinggalkan oleh orang yang kita sayang dengan melihat jasadnya aja udah hancur. Apalagi lo, gak lihat sama sekali," ujar Tamara menatap Ina sendu.

"Tapi, gue yakin Na. Kalo keajaiban itu masih ada, meskipun skalanya kecil sekali, gue tetap berharap kalo Regal masih hidup," lanjut Tamara.

                   ***

Zidan berhasil mendapatkan alamat rumah paman Ina. Pastinya dari Reyna.

Zidan akan membongkar semua kelakuan bejad Reyna dengan tangannya sendiri.

Zidan begitu ceroboh. Jika saja Tamara tahu, mungkin Zidan sudah ditampar olehnya.

Beberapa meter lagi Zidan sampai, dia sudah tidak sabar dengan hasilnya.

"Loh, Zidan?" panggil seseorang saat lampu hijau berganti dengan warna merah.

Zidan menoleh, ternyata Reyna.

"Lo ngapain disini?" tanya Reyna di samping Zidan yang tengah membonceng abang ojol.

"Lo sendiri ngapain?" tanya Zidan dengan bodohnya.

Reyna turun dari tempatnya kemudian membonceng Zidan dengan enak hati.

"Gue mau ngomong sama lo," kata Reyna.

Lampu kembali hijau, Zidan pun melajukan motornya dengan memilih arah belok kanan.

Sebenarnya arah rumah paman Ina belok kiri. Namun karena ketahuan Reyna, Zidan harus pintar lagi mencari alasan.

Keduanya berhenti di pinggir jalan. Zidan melepaskan helmnya.

"Lo sebenarnya siapa si?" tanya Reyna curiga.

"Lo datang gitu aja di hidup gue, apa jangan-jangan lo mau jahatin gue ya?" tuduh Reyna menatap Zidan takut.

"Enak banget lo ngomong gitu, atas dasar apa lo nuduh gue kayak gitu?" tanya Zidan masih tenang.

"Ya, kenapa lo disini?" tanya Reyna bodoh.

"Semua orang juga tahu Rey, kalo ini adalah jalan umum, siapa saja boleh lewat sini," jawab Zidan masuk akal.

Reyna diam, benar juga ucapan Zidan.

"Gue kira lo mau ngikutin gue ke rumah paman," kata Reyna.

"Emang gue tahu rumah paman lo?" tanya Zidan.

"Yakan gue pernah cerita sama lo," jawab Reyna tidak mau kalah.

"Lo cerita hanya satu kali, itu pun gue lupa dimana alamat paman lo. Lagian buat apa juga gue ngikutin lo ke rumah paman lo coba?" bela Zidan.

"Barangkali lo kerja sama dengan Tamara buat jahatin gue," jawab Reyna membuat Zidan sedikit terkejut.

Zidan hampir saja ketahuan, ternyata Reyna tidak sebodoh yang ia kira.

"Yang bener aja lo. Gue kan pertama kali ketemu Tamara dan kakak lo sewaktu di taman kemarin," kata Zidan terus meyakinkan Reyna.

"Terus ini lo mau ke mana?" tanya Reyna.

"Gue mau ke apartemen bokap gue yang di daerah sini," jawab Zidan tidak berbohong.

Keluarga Zidan dan Tamara memang keluarga pebisnis. Keduanya sama-sama sukses dalam cabang bisnis mereka, salah satunya apartemen.

"Bokap lo punya apartemen?" tanya Reyna semangat.

Selain ular, ternyata Reyna juga mata duitan.

"Iya, salah sagu usaha bokap gue," jawab Zidan .

Sedari kecil, Zidan tinggal di Makassar bersama keluarga besarnya.

Zidan anak tunggal dari keluarganya. Papah dan Bundanya sibuk dengan bisnis masing-masing di Jakarta sehingga Zidan memilih menetap di Makassar.

Bahkan, sampai kuliah.

"Ouh gitu, maafin gue ya Zidan, udah curiga sama lo," jawab Reyna tersenyum.

Zidan mengangguk, dia berterima kasih kepada Papahnya karena memiliki cabang apartemen di daerah rumah paman Ina dan Reyna.

Sebenarnya tujuan utama Zidan bukan apartemen, melainkan rumah paman Ina.

Namun sialnya ketemu dengan Reyna. Beruntungnya bertemu di jalan, bayangkan saja jika bertemu di rumah pamannya.

"Lo mau ke rumah paman lo kan? Mau gue antar?" tanya Zidan.

Reyna menggeleng, meskipun Zidan sudah menjelaskan maksudnya, dia harus tetap menyembunyikan alamat pamannya dari Zidan.

Karena Reyna tidak mudah percaya dengan siapa pun.

"Nggak usah, gue pake ojol aja," jawab Reyna membuka tasnya.

Reyna terkejut, saat di dalam tasnya terdapat sebuah kertas berwarna putih yang digulung dengan pita berwarna hitam.

"Kenapa?" tanya Zidan.

Reyna mengambil kertas itu, dan membacanya.

Melangkah mendekati bulan, kemudian kelopak terarah menuju matahari bersinar.

Zidan ikut membacanya, lalu bertanya, "Dari siapa?"

"Gak tahu, tiba-tiba ada dalam tas gue," jawab Reyna bingung.

"Maksudnya apa yah?" lanjut Reyna.

Reyna mengelilingi sekitarnya. Tanpa sadar memberikan surat itu kepada Zidan.

Dengan cepat, Zidan memfotonya lalu mengirim ke Ina dan Tamara.




Double up<
Terus tunggu kelanjutan cerita ini yah!

Kalian juga diajak berpikir loh sama teka-tekinya.

Terima kasih, Anya.

Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang