Bab 64

104 37 9
                                    

Sekali lagi saya tanya, mau ada visualnya apa nggak? Jawab dong sayang.

Oke selamat membaca.

♡♡♡

Dengan ditemani oleh Zidan, Reyna mendatangi tempat yang dimaksud dengan membawa sebuah senter tepat pukul 01.00 dini hari.

"Ini dimana yang dimaksud? Dan mau nunjukkin apa?" tanya Reyna bingung.

"Hm, gue juga gak tahu. Dia gak nyebutin dimana tepatnya," jawab Zidan seadanya.

Reyna pun diam, berusaha mencari apa pun yang mungkin bisa memberi petunjuk untuknya.

Dari jauh, Ina dan Tamara masih memantau keduanya. Meskipun Ina terus saja menguap, Tamara sabar menemani gadis itu.

"Huahhh, sumpah Tam gue masih ngantuk banget," adu Ina menutup mulutnya.

"Ya gue juga ngantuk Na, tapi ini penting. Jadi tunda dulu deh ngantuknya," jawab Tamara sinis.

Ina mengangguk, malas juga malam-malam buta begini menghadapi Tamara yang sulit dikalahkan dalam hal berbicara.  Tamara sebenarnya gadis yang manja, namun setelah orang tuanya pisah tidak ada lagi kata itu dalam hidupnya.

Ina menatap Reyna kembali. Kini Reyna dan Zidan sedang jalan tidak jelas di sekeliling jalan itu.

"Hati-hati Zi, walaupun udah malem bisa aja tiba-tiba ada kendaraan yang lewat," peringat Reyna yang masih peduli dengan Zidan.

"Iya," hanya itu yang Zidan katakan.

Reyna terus mencari apa pun di sekelilingnya. Hingga netranya menyipit  tatkala melihat sebuah benda yang digantung di salah satu ranting pohon yang tidak begitu tinggi.

"Zi!" teriak Reyna langsung mendapat tatapan Zidan.

"Itu," tunjuk Reyna lalu Zidan mendekat.

"Itu apa?" tanya Reyna dengan jarinya yang menunjuk benda itu.

"Biar gue yang ambil," kata Zidan lalu cowok itu memanjat pohon dan segera mengambil benda yang dibungkus rapi seperti kado. Hanya saja ukurannya kecil.

"Nih, jaga-jaga barangkali isinya bom," kata Zidan menakut-nakuti Reyna.

"Jangan gitu dong Zi," kesal Reyna manyun.

Dengan meletakkan kado kecil itu di tanah, Reyna membuka pelan-pelan.

Ternyata, isinya sebuah gantungan kunci Menara Eiffel. Reyna termenung melihat gantungan kunci itu yang begitu elegan.

Melihat itu, Reyna teringat sebuah kenangan di waktu SMP.

Flasback

"Kak, Paris jauh yah?" tanya Reyna semangat.

"Jauh Dek, emang kenapa?" jawab Ina mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Reyna pengen kesana Kak," jawab Reyna antusias.

"Sama dong. Dari dulu juga Kakak ngimpi tuh kesana," tutur Ina tersenyum.

"Bisa gak yah Kak kita kesana?" tanya Reyna sedih. Pasalnya kota Paris lumayan jauh dari Indonesia.

"Insha Allah bisa. Makanya belajar yang rajin biar pinter terus sukses, bisa deh nanti kita ke Paris," kata Ina lembut dengan mengelus kepala Reyna.

"Wah, iya deh Kak Reyna mau belajar yang rajin biar kayak Kak Ina. Dan kita ke Paris bareng yah Kak," ujar Reyna begitu semangat.

"Tentu. Nanti kita foto-foto di Menara Eiffel," jawab Ina lebih semangat.

"Sayang deh sama Kak Ina," kata Reyna lalu memeluk Ina.

"Kakak juga sayang sama Reyna," jawab Ina membalas pelukan adiknya.

Reyna berkaca-kaca mengingat kenangan itu. Gadis itu memang sangat menyukai Paris, sama halnya dengan Ina. Hanya saja kamarnya tidak seperti Ina yang dihias lengkap dengan apa pun yang ada di kota Paris.

"Sebenarnya siapa orang dibalik surat ini, kenapa dia tahu kesukaan gue dan Kak Ina," lirih Reyna yang masih Zidan dengar.

Ina pun tak kalah tercengang dari kejauhan. Mengapa orang itu seakan ingin menyatukan kembali Reyna dan dirinya?

Yang tahu tentang Paris hanya orang yang sering berkunjung ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya.

Dan orang itu hanyalah Tamara.  Apa mungkin Tamara?

"Na, lo kenapa deh?" tanya Tamara risih ditatap Ina tajam.

"Eh? Nggak papa kok, ngantuk aja," jawab Ina alibi.

Reyna melihat gantungan kunci itu dengan seksama. Dia tahu sekali tentang Paris dan barang-barang asli dari kota cinta itu.

Gantungan kunci yang sekarang ada ditangannya adalah gantungan kunci asli dari kota Paris.

"Ini kan dari Paris asli. Ngapain orang itu capek-capek ke Paris hanya untuk neror gue?" kata Reyna heran.

"Kak bisa pesen Rey," kata Zidan, Reyna mengangguk.

"Bagus banget lagi gancinya," lanjut Reyna takjub.

Reyna kembali diam, dia butuh bantuan. Tidak mungkin dia terus melibatkan Zidan dalam masalahnya.

Reyna akhirnya mengirimkan pesan panjang kepada Kevin yang kebetulan masih online.

Reyna menjelaskan semuanya, sampai gantungan kunci yang ia dapatkan saat ini.

Maaf Rey, gue udah gak bisa bantuin lo. Lo seharusnya sadar, selama ini lo itu salah. Beruntung Ina nggak bales itu semua. Gue udah sadar sama kesalahan yang gue buat selama ini. Sekarang tinggal lo mau bagaimana, terus menjadi orang jahat di keluarga lo sendiri, atau mengakui kesalahan dan berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Reyna menyerahkan ponselnya kepada Zidan. Lalu kepalanya menunduk dan matanya terpejam.

Zidan buru-buru memfoto itu dan mengirimkannya kepada Ina.

"Menurut lo gimana Zi?" tanya Reyna mendongak kembali.

"Menurut gue, bener juga kata temen lo itu. Bukannya gue mau membela Kak Ina, tapi selama ini lo udah jahat banget sama dia, dan dia gak bales apa pun atas kejahatan yang lo buat," jawab Zidan panjang. Semoga saja pelan-pelan hati Reyna terbuka.

Reyna menghela nafas. Jujur, dia belum merasa bersalah atas semua ini.

Dia melakukan ini ada alasannya. Dan alasan itu justeru semakin kuat hingga sekarang.








Terus dukung cerita ini yak, jujur saya lebih suka komentar dari pada vote. Tapi alangkah lebih baiknya lagi jika keduanya hahaha.

Vote tidak membuat jempolmu patah kan sayang?

Oke, terima kasi, Anya.

Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang