Bab 68

107 38 12
                                    

Dikarenakan masih ada saja yang tidak bisa menghargai, maka part kali ini saya gantung segantung-gantungnya.

Tidak bermaksud memaksa, saya hanya ingin mengingatkan hargailah sebuah karya jika karya tersebut telah kamu nikmati.

Oke, selamat membaca.

○○○○○

Ina terus menatap surat itu dengan perasaan campur aduk.

"Dua wajah bulan," gumam Ina saat membuka surat itu.

Berpikir sejenak, Ina lalu mendapatkan sebuah pencerahan.

"Gue tahu nih, biar gue kesana sendirian. Siapa tahu gue bisa tahu orang peneror baik ini. Gue mau makasih, berkat dia Reyna insyaf," kata Ina sembari sedikit terkekeh.

"Dua wajah bulan, pasti di tempat yang ada airnya. Dimana lagi coba tempat yang membuat bulan jadi dua? Pasti di air, karena ada bayangannya," Ina menggeleng kepalanya. Merasa bangga dengan otak milik dirinya yang begitu encer.

"Tapi, daerah sini hanya ada danau. Apa bener disitu? Tapi, udah malem. Mana tempat itu menyedihkan banget buat gue," lanjutnya mengingat danau bersama pemilik hati yang hilang.

Menghela nafas, Ina harus memutuskan sekarang juga.

"Oke gak papa, gue kesana. Bismillah," katanya setelah itu memesan ojek di aplikasi ponselnya. Karena tidak mungkin jika dia menggunakan motornya sendiri, pasti keluarganya tidak akan menyetujui.

Berjalan pelan dengan melewati belakang rumah yang sedikit menakutkan, akhirnya Ina sudah menemukan tukang ojek.

"Sudah neng?" tanya tukang ojek itu.

"Sudah bang," kata Ina lalu menjelaskan kemana tujuannya.

Dengan jantung yang berpacu lebih cepat, Ina sampai tidak sadar bahwa dia telah sampai di danau itu.

"Terima kasih ya bang, bayarnya sudah di aplikasi," kata Ina tersenyum.

"Iya neng, sama-sama. Mari," pamit tukang ojek itu lalu pergi.

Semilir angin malam yang menerpa wajah Ina, semakin membuat gadis itu tidak karuan. Pasalnya, hari sudah cukup malam dan tidak ada orang lain selain dirinya.

"Demi apa gue jantungan gini," tutur Ina sembari terus berjalan.

Menatap danau, benar ada dua wajah bulan. Ina terbawa suasana yang begitu menenangkan hingga matanya tertutup beberapa saat.

Setelah sedikit mendapatkan ketenangan, Ina menoleh ke arah kanan.

"Siapa itu?" tanya Ina melihat seseorang berdiri menghadap pohon.

"Apa itu peneror Reyna?" tanya Ina lagi. Jujur, jantungnya sudah tak karuan. Takut dan penasaran menjadi satu.

"Sumpah deg-degan banget gue. Mau pulang, penasaran. Gak pulang, gue takut," ujar Ina bingung.

Ina memilih menghela nafas sebanyak-banyaknya. Memutar otak, takut-takut orang itu ingin berbuat jahat dengan Ina.

Langkah demi langkah, Ina terus berjalan mendekati orang misterius dengan pakaian serba hitam.

Ina telah sampai beberapa langkah di belakang orang itu.

"G-gue," kata Ina begitu gugup. Bahkan gadis itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.

Ina menutup mata sebentar namun saat ia membuka matanya, hampir saja matanya lepas. Jantungnya menggelinding, kakinya pun entah kemana.

"R-regal?" ucap Ina kaku. Bulu kuduknya berdiri sempurna, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

"Hiks, Re," Ina memilih jongkok dengan menutup wajahnya.

Ina masih tahu betul bagaimana wajah Regal. Dan orang tadi adalah Regal.

"Re, gue tahu lo udah tenang di atas sana, tolong jangan ganggu gue," kata Ina dengan ketakutan yang sudah di ujung tanduk.

Tidak ada jawaban dari Regal, Ina bahkan tidak tahu itu Regal atau hanya arwah Regal yang merindukan dirinya.

"Gue masih hidup," jawabnya setelah diam beberapa saat.

"Lihat saja kaki gue masih napak," lanjutnya.

Ina masih diam dan terus menunduk. Karena penasaran, Ina pun perlahan-lahan membuka matanya.

"G-gimana bisa?" tanya Ina melihat kaki Regal masih seperti manusia biasa.

"PRANKKKK!" teriak Regal tepat di depan wajah Ina.

Ina tertegun, tidak bisa menampilkan ekspresi apa pun.

"M-maksudnya?" tanya Ina masih sangat takut.

Regal tidak menjawab, namun mendekatkan diri ke arah telinga Ina.

"Gue masih hidup," katanya lembut.

"Jadi? Lo bohongin gue?" tanya Ina sudah mulai terbiasa.

Ina tidak menyangka jika selama ini Regal membohongi dirinya.

"BISA-BISANYA LO BOHONGIN GUE?? JELASIN!" teriak Ina menggebu-gebu.

Ketahuilah, amarah Ina sudah sangat tidak terbendung. Berhari-hari bahkan bulan, dia terus memikirkan nasib Regal tetapi ternyata cowok itu membohonginya?

Regal tersenyum, manis sekali. Namun tidak dengan Ina yang sepertinya ingin membuang Regal hidup-hidup di danau itu.

"Jadi, sebenarnya-"





Terima kasih telah menjadi pembaca setia cerita ini.

Semoga pelajaran dari cerita Absurd ini bisa diambil sisi positifnya yah.

Bahwasannya menjadi kakak tidak seenak yang dipikirkan oleh adik.

Dan menjadi adik, tidak semudah yang dipikirkan oleh kakak.

Iya, cerita ini selain cerita cinta juga menyampaikan perasaan dari setiap nomor urut anak.

Hahahahaha nomor urut<

Dah yah, bye. Anya♡

Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang