Bab 44

117 33 14
                                    

Usai pulang dari danau bersama Regal, Ina kini persis seperti maling yang baru saja tertangkap.

Gadis itu duduk di kursi dengan semua anggota keluarganya menatap sangat bringas.

"Jam segini kenapa baru pulang?" tanya Ibu begitu dingin, dalam hati Ina ingin sekali berontak bahwa dia tidaklah bersalah.

Ina sedih sekali sang Ibu kini sangatlah berubah, beliau terlalu percaya dengan hasutan Reyna.

"Bu, tolong jangan hakimi aku seperti maling Bu. Aku ini anakmu," bela Ina saat Ibu sudah melayangkan tatapan bencinya.

Dulu, tatapan itu adalah tatapan kasih sayang, cinta yang penuh dengan senyuman. Hanya saja itu semua telah sirna. Ibu bahkan sudah sangat membenci Ina, bukan hanya Ibu melainkan Bapak dan juga Gibran, adik kesayangannya.

"Bagaimana Ibu bisa diam saja jika sekarang sudah pukul setengah lima sore. Kamu ujian selesai pukul sepuluh bukan? Jadi sisanya kamu kemana?" tanya Ibu begitu sinis.

Ina diam, dia bingung mau menjawab apa. Karena sejujurnya seharian ini dia bersama Regal.

"Pacaran?" tanya Ibu dengan nada tinggi.

"Engga-"

Plak

Ibu menampar Ina saat Ina saja belum menjelaskan apapun. Ina disini menjadi korban untuk kedua kalinya.

Mengapa semua orang berubah? Mengapa tidak ada lagi kasih sayang untuk Ina?

Mengapa?!

Ina lantas memeluk lutut sang Ibu, menangis memohon Ibu untuk mendengarkan dulu penjelasan dari Ina.

Ina dapat melihat jelas raut bahagia dari rivalnya. Siapa lagi kalo bukan Reyna, adik kandungnya sendiri. Dia yakin ini semua ulah gadis ular itu.

"Ibu tidak perlu dengan penjelasan kamu, ini sudah cukup menjelaskan semuanya," Ibu menyodorkan handphone dimana terlihat Ina tengah bersama Regal di danau tadi.

"Ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbohong apalagi berpacaran, kamu ini kenapa Ina?!" teriak Ibu, ikut menangis.

"Ibu, tolong Ibu. Tolong dengarkan penjelasan Ina Bu," Ina meraung-raung masih memeluk lutut sang Ibu.

Bapak masih diam, menunggu istrinya selesai.

"Setelah kamu mau menggadaikan rumah kita, sekarang kamu pacaran sama anak tidak jelas itu?" Ina menggeleng tak berdaya, seragamnya saja sudah sangat kusut.

"Ouh Ibu tahu, jadi maksud kamu mau menggadaikan rumah kita itu biar nantinya uang itu kamu gunakan untuk hidup bersama Regal?"

Ina tidak tahu lagi harus berkata apa, bagaimana bisa Ibu berpikir seperti itu jika Regal saja begitu kaya.

"Ibu tidak menyangka kamu bisa setega itu, sekarang keluar kamu dari rumah ini!" bentak Ibu, membuat Ina menatapnya tidak percaya.

Ina diusir oleh Ibunya sendiri, hanya karena fitnah keji adiknya, Reyna.

Ina semakin menangis, berontak, menjerit.

"Nak, bangun Nak," kata Bapak membantu Ina untuk berdiri.

Ina berharap Bapak akan menolongnya.

"Kamu pergi dari sini dulu yah," Ina menoleh tak percaya, ternyata Bapak sama saja dengan Ibu.

Mengusap air matanya, Ina berjanji akan mencari keadilan untuk dirinya sendiri.

Membongkar siapa dalang dari semua ini. Ina berjanji akan hal itu di dalam hatinya.
Ina pun keluar, dia putuskan untuk membawa motornya.

Melajukan motor tanpa arah, Ina memutuskan untuk kembali ke danau tadi saat senja sudah menghilang.

"AAAAAAAAA," teriak Ina sembari menangis.

Hatinya begitu sakit, jiwanya begitu lelah bahkan semangatnya saja sudah goyah.

"Kenapa ini semua terjadi," lirih Ina, dia luruh ke tanah.

Danau saat ini begitu sepi karena malam sebentar lagi datang.

"Gue bahkan belum menjelaskan apapun," lanjut Ina menjambak rambutnya sendiri.

"Begitu tega semuanya sama gue, gak ada satu pun yang membela gue," Ina memeluk lututnya sendiri.

Biarlah ia bermalam disini, sembari menenangkan pikirannya.

***

Pagi datang dengan sinarnya yang begitu menghangatkan. Seorang gadis dengan kondisinya yang begitu berantakan masih terlelap dengan bersandar di motornya sendiri.

Benar, itu Ina.

Ina terbangun karena silaunya matahari, dia sempat kaget saat bangun mengapa bukan di kamarnya.

Setelah ingat, dia langsung membuka ponselnya.

Tidak ada satu pun pesan.

Tidak ada satu pun panggilan.

Tidak ada satu pun yang mengkhawatirkannya.

"Semenjijikannya gue kah?" tanya Ina merendahkan dirinya sendiri.

"Mereka bahkan tidak ada yang bertanya dimana gue tidur malam tadi," Ina berdiri, membersihkan seragamnya.

Ina tidak sempat membawa baju karena sudah keburu Ibu mengusirnya.

"Hanya ini yang gue punya," Ina menatap sedih uang berwarna ungu yang ia pegang.

Ina kemudian mengecek bensin motornya, syukurlah masih penuh.

Sekarang dia harus pintar dalam membagi uang sepuluh ribunya.

Jika dulu Ina sangat menyukai bermalas-malasan dan rebahan, kini itu adalah hal yang tidak mungkin lagi dia lakukan.

Ina terkekeh mengingat nasibnya sendiri. Sejujurnya setelah kemarin pulang dari danau bersama Regal, ingin sekali Ina rebahan melepas penat karena ujian.

Namun, semuanya sirna. Ternyata Ina mendapatkan takdir untuk rebahan di area danau itu.

"Mesti muter nih duit biar gue tetep bisa hidup," ujarnya sembari memakai tas, tas sekolah.

"Tapi, gue capek banget," Ina kembali duduk di tanah.

"Habis ujian, bukannya disambut dengan senyum hangat, malah diusir, sakit banget Ya Allah," Ina kembali menangis.

"Ya Allah tolong tunjukkanlah jalan keluarnya Ya Allah," Ina sadar, sepertinya ini adalah teguran penciptanya karena dia sering melupakan kewajiban.

"Ina sadar Ya Allah, tolong bantu Ina."

Ina menangis tanpa suara, begitu melelahkan semuanya.

Yang Ina tidak tahu, tidak jauh di belakangnya Reyna melihat semua apa yang dia lakukan, bahkan saat Ina tidur tadi malam.

Reyna tersenyum puas, misinya sebentar lagi berhasil.














Hiks hiks
Saya pun menangis mengetik part ini😭

Apakah kalian sedih?

Atau ada yang menangis?

Terima kasih sebelumnya untuk yang berkenan menjawab.

-Anya.

Absurd [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang